2. Sembuh

16 0 0
                                    

"Ketika kita mulai mengubah pikiran, bisa jadi kita tidak langsung melihat perubahan detik ini juga. Tetapi ketika kita terus melanjutkan pola pikir kita yang positif, maka kita akan menemukan hari esok yang berbeda. Jika kita ingin melihat hari esok kita positif, maka kita harus mengubah pikiran kita pada hari ini. Pemikiran hari ini akan menciptakan pengalaman hari esok." — Margareth, Kaitlyn

(◔‿◔)

Beberapa tahun yang lalu, rasanya hidup kayak udah gak ada artinya. Mimpi-mimpi yang selama ini jadi teman sehari-hari juga tiba-tiba menghilang entah kemana. Secara mendadak, gue merasa jadi manusia paling kesepian di dunia. Semua teman pergi menjauh, gak ada orang yang bisa gue ajak ngobrol selain diri gue sendiri.

Waktu itu, masalah yang timbul di keluarga bagaikan batu karang yang besar, menghalangi semua pandangan gue akan harapan dan keindahan semasa hidup. Berulang kali gue kepikiran buat terjun dari atas jembatan yang tinggi, atau mati tenggelam di dasar laut.

Gue gak tau kenapa, tapi gue ngerasa semua aspek kebahagiaan dalam hidup gue udah sirna. Temen gak ada, pacar apalagi.

Berbulan-bulan gue cuma hidup sekedar hidup. Pergi ke sekolah, ikut pelajaran, lalu pulang ke rumah tanpa bisa merasakan apapun selama di sekolah. Gue bagaikan robot yang di program hanya untuk itu.

Lalu kemudian gue lulus. Di bulan pertama dan kedua setelah gue lulus, gue masih menggebu-gebu buat ngelanjutin kuliah. Tapi lagi-lagi takdir gak mengizinkan gue untuk kuliah.

Akhirnya gue nganggur.

Sambil terus mencari lowongan pekerjaan dengan setengah hati, gue mencoba buat pelan-pelan nerima keadaan bahwa gak semua keinginan gue bisa tercapai. Atau, mungkin nanti bisa tercapai dengan keadaan yang lebih baik.

Beberapa kali gue dipanggil untuk interview. Di percobaan pertama, gagal. Lalu gue nyoba lagi melamar pekerjaan untuk kedua kalinya. Tapi gagal juga. Nyoba ketiga kali, masih gagal. Nyoba ngirim-ngirim lamaran lewat online pun gak pernah ada balasan. Rasanya hampir nyerah. Tangisan yang jatuh di tiap malam pun gak bisa diitung berapa ribu jumlahnya.

Sampai akhirnya, gue iseng-iseng melamar pekerjaan di sebuah klinik. Klinik yang terkenal cukup besar di kota ini. Waktu gue nganterin berkas ke sana, gue pikir hari itu hanya nganterin berkas aja. Sementara untuk wawancaranya baru akan dihubungi nanti. Ternyata gue salah.

Hari itu juga, gue langsung diminta interview. Bu HRD langsung ngeluarin kertas berisi kontrak serta beberapa pertanyaan buat gue.

'Anjrit pake di tes segala?!' batin gue waktu itu.

Tapi gue tetap mengerjakan tes itu dengan sepenuh hati. Butuh waktu 45 menit bagi gue buat mengisi semua pertanyaan seputar farmasi yang akan jadi jobdesk gue nanti. Setelahnya, baru wawancara dimulai.

Bu HRD mulai menjelaskan tentang cara kerja dan sistem di klinik tersebut. Gue mendengarkan beliau dengan seksama. Sambil tak henti-hentinya mengucap kagum dalam hati karena bertemu wanita hebat seperti beliau.

Beberapa kali beliau sempat menanyakaan gue. Kayak "Menurut kamu, bagaimana kriteria seorang karyawan yang baik?" atau "Apa yang akan kamu lakukan selama lima tahun ke depan?"

Gue menjawab pertanyaannya dengan sedikit gugup. Baru kali ini gue dapat pengalaman interview kerja yang super ketat kayak gini—karena interview yang sebelumnya hanya ditanya-tanya seputar rumah dan kehidupan pribadi.

Setelah wawancara selesai, gue pulang. Di perjalanan gue merasa ketar-ketir, karena beliau bilang besok akan ditelpon mengenai diterima atau enggaknya gue.

Lalu keesokan harinya gue beneran di telpon oleh beliau. Dan alhamdulillah, gue diterima bekerja di klinik itu, dengan masa percobaan selama 3 bulan. Gue jelas seneng banget. Tapi Mama gue enggak. Karena gue diharuskan tinggal di mess jika bekerja di sana. Tapi Mama gue memutuskan untuk melupakan egonya dan membiarkan gue berangkat menuju mess.

Sesampainya di mess, gue langsung di orientasi oleh kepala cabang di klinik tersebut. Orangnya asik, humble, energik, pokonya gaul abis deh. Teman-teman yang ada disana juga baik-baik semua. Bikin gue betah kerja disana.

Gak jarang juga gue diomelin sama kepala cabang atau dokter disana karena kesalahan atau keteledoran kecil yang gue lakukan. Tapi untungnya gue gak pernah bikin kesalahan yang fatal. Oh, pernah sekali gue buat kesalahan. Tapi gue langsung tanggung jawab perbaiki kesalahan itu.

Selama tiga bulan disana, gue gak merasa sendirian lagi. Gue malah merasa hidup gue makin ramai karena pasti ada aja tingkah senior-senior disana tiap malemnya. Kadang kita nangis bareng, makan bareng, semuanya kita lakuin bareng-bareng.

Sampe akhirnya gue merasa 'ternyata hidup itu asik, ya'. Tapi sayangnya, gue cuma bertahan 3 bulan disana. Namun efek yang gue rasa masih ada sampe sekarang.

Karena mereka, gue merasa gue sembuh dari perasaan-perasaan gak mengenakkan yang sebelumnya gue rasain. Karena ketemu mereka juga, pikiran untuk bunuh diri itu menghilang gitu aja. Ya meskipun sesekali masih sering datang. Tapi itu jauh lebih baik daripada dulu gue merasa tiap hari rasanya kayak pengen mati.

Dengan adanya tulisan ini, gue mau berterima kasih sama semua orang di klinik itu. Bagi gue, kalian luar biasa. Dan karena kalian juga, gue masih ada dan hidup di dunia ini.

Buat kalian yang masih mencari jalan untuk sembuh, jangan pernah menyerah. Momen itu pasti akan datang juga ke kalian. Semoga kebahagiaan selalu hadir di setiap hari berharga kalian♡

PhotographTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang