Dan ada juga sifat Tika yang berbahaya untukku. Untungnya sifat tersebut jarang sekali keluar. Sehingga aku masih aman dari sifatnya tersebut.
Tapi kali ini, apakah aku masih aman?
"Mas Zaki sayang, ke kontrakan aku sini. Aku ada sesuatu buat kamu." Ucap Tika di telepon.
Seperti sudah tidak marah lagi, Tika mengundangku datang ke kontrakannya di daerah Ketawanggede dengan cara yang wajar-wajar saja. Kupacu motorku ke sana. Sekitar lima belas sampai dua puluh menit melaju mencari celah di antara kendaraan-kendaraan lain.
Tika dan teman-teman mahasiswi lainnya menyewa rumah kontrakan berlima. Aku pun juga lumayan mengenal mereka.
Setelah sampai, segera kuparkir motorku di halaman. Kemudian di depan rumah kuketok daun pintu yang sudah terbuka itu sambil mengucap salam. Setelah dua kali mengucap salam, terdengar suara jawaban dari Tika sambil dia keluar kamar.
"Oke, kamu tahu? Aku mau ngasih apa ke kamu?" Tanyanya. Terlihat ternyata dia sepertinya masih marah padaku.
"Enggak." Jawabku.
"Aku mau ngasih hukuman ke kamu."
"Hukuman?" Tanyaku.
"Iya, hukuman yang aku janjikan ke kamu kemarin. Sebagai syarat maafku untukmu." Jelasnya.
"Baiklah." Jawabku lemas.
"Hari ini kamu harus jadi mainan aku."
"Mainan gimana maksudnya?" Aku makin lemas.
"Jadi gini. Kamu harus mau! Aku akan mendandani kamu jadi cewek, lalu akan aku bawa keluar biar diliat banyak orang." Jawab Tika dengan senyum jahat.
"Apa?? Tapi itu kan memalukan."
"Tenang saja, palingan juga gak akan ada yang mengenali kamu. Itu adalah hukuman bagi laki-laki yang gak bisa serius menata masa depan setelah sekian lama diberi kesempatan." Tika menarik tanganku ke kamarnya.
"Tak ada orang lain di rumah kontrakan ini? Yang lain ke mana?" Tanyaku.
"Lagi pada pergi. Debby dan Chika ada urusan. Lina sibuk kerja part time. Dan Indah lagi pulang kampung. Jadi hari ini aku sendiri." Jawabnya sambil tetap menarik tanganku.
Sampai di kamar, diambilnya celana dalam berwarna pink muda. Disodorkannya padaku dan kuterima dengan ragu-ragu. Kemudian didorongnya tubuhku ke kamar mandi yang ada di sebelah kamarnya. Disuruhnya aku membersihkan badan dan memakai celana dalam itu. Tak lupa dia mengingatkan untuk menekuk alat vitalku ke belakang. Di dalam kamar mandi, aku lakukan instruksinya sambil menggerutu dalam keraguan. Oh, apa boleh buat. Ini karena kesalahanku sendiri.
Aku kembali ke kamarnya dengan sudah memakai benda yang dia sodorkan tadi. Sembari menutupi tubuhku seadanya dengan baju-bajuku yang tadi aku pakai, aku memasang tampang agak tegang. Disingkirkannya kaos yang kutempelkan di badanku, lalu senyumnya terlihat menahan tawa. Kemudian diambilkannya bra yang senada dengan celana dalam tadi. Dipakaikannya padaku. Agak berpikir sejenak, lalu diambillah beberapa kaos kaki yang kemudian digulungnya menjadi bola-bola. Dimasukkannya ke dalam bra yang sudah dipakaikan padaku tadi.
"Tik, kamu yakin?"
"Udah, diem aja, nurut!" Jemari telunjuknya diarahkannya pada hidungku dengan sorot mata tegas.
Kemudian diambilkan pakaian-pakaian yang tak kutahu namanya atau jenis modelnya. Dipakaikannya padaku atasan baju longgar yang panjangnya sampai ke atas lutut dan untuk bawahannya rok longgar dengan lipatan-lipatan dengan warna merah muda kalem. Kemudian jilbab yang cara memakaikannya pada kepalaku dengan cara mudah, hanya diblusukkan saja. Maklum, Tika sendiri tak biasa memakai jilbab, jadi yang dipunyainya cuma model sederhana. Jilbab dipilihnya sengaja untuk menutupi jakunku. Cukup mudah dandanan ini. Dihadapkannya aku ke cermin di lemarinya. Dan...
"Tuh, liat! Dirimu dah kayak perempuan. Apa kubilang kemaren, kamu tuh pantes pake jilbab."
Dan benar saja, bahkan tanpa make up pun kata-katanya benar, seperti ini aku memang sudah mirip perempuan. Aku jadi merasa takut tanpa alasan.
"Duuh.. Tikaaa.... Plis.. Jangan lakuin ini ke aku." Ucapku yang malah lebih seperti merengek.
"Udah deh, jangan ngelawan!" Kata-kata tegasnya membuatku ciut nyali.
Sekarang dia mendudukkan aku di kursi dan diambilnya beberapa peralatan make up. Cuma riasan sederhana, dipakaikannya sesuatu entah apa itu, lalu bedak tipis-tipis pada wajahku. Kemudian sapuan kuas di tulang pipi yang aku tak tahu apa gunanya. Dan diakhiri lipstik warna pink pucat.
"Waow... Cantik banget. Hahaha....!" Pujinya sekaligus mengejek.
Melihat bayanganku di cermin yang bisa dibilang nyaris sempurna menipu mata, segera mentalku langsung down. Aku seperti kehilangan harga diri dan makin ciut nyali. Itu bukan diriku.
"Udah siap, ayo Mbak Zakiya, akan kutunjukkan kecantikanmu pada dunia." Kalimatnya itu, apalagi yang memanggilku dengan sebutan "mbak", serta mengubah namaku menjadi feminin. Semakin membuatku jatuh mental di hadapannya.
Seperti kerbau dicocok hidungnya, aku seketika jadi penurut pada Tika yang terlihat dan terasa kejam dalam pandanganku. Aku tak berani melawan sedikitpun karena sudah kehilangan jatidiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengulang Hidup
Science FictionSeorang pemuda mahasiswa tingkat akhir, sedang mengupayakan menata masa depan. Menyelesaikan kuliah, mengikuti magang demi kemudahan pekerjaan, serta mempersiapkan keseriusannya pada sang pacar selayaknya pria sejati. Namun keadaan dan peristiwa mem...