Tertolong

1.4K 40 9
                                    

Kududuk di kursi besi yang dingin. Di bawahku rerumputan berembun tempat kumenapak dengan yakin, sesekali terasa sejuk membasahi kakiku di sela-sela bebatuan yang licin. Di depanku hamparan air jernih bagaikan cermin. Di sampingku pohon beringin. Daun dan bunganya berguguran tertiup angin. Beberapa di antaranya menampari wajahku tanpa izin. Bersama semilir angin mencambuk tubuhku yang terbalut kain.

Suara-suara burung bersaut-sautan membentuk irama nyanyian alam. Serta belaian sang surya dengan hangat cahaya sinarnya yang temaram. Menunggu waktu untuk tenggelam menuju malam. Terasa seperti senja dengan warna yang lembut dan tak terlalu tajam. Serta tepian pandanganku terasa lebih buram.

Kemudian kudengar suara-suara lembut yang bergaung ringan. Makin jelas kuperhatikan, itu suara-suara cengkerama dari para perempuan. Kulihat beberapa gadis-gadis berpakaian rapi dan sopan bermunculan. Jumlah mereka bertambah-tambah banyak memenuhi pandangan. Jilbab-jilbab mereka menjuntai menutupi dada dan sesekali berkelebatan. Tersapu angin dengan lembut menambah keanggunan.

Aku tetap terduduk di sini saja, diam tak bersuara memperhatikan mereka. Kemudian kulihat di antara mereka ada adikku Rani yang cantik sedang melangkahkan kakinya, dengan senyum yang terukir di bibirnya. Pandanganku terfokus pada wajahnya. Satu seperempat detik kemudian mulutnya bergerak meluncurkan kata-kata. Ternyata dia sedang berbincang dengan seorang teman di sampingnya. Kuperhatikan juga, temannya lebih cantik dan lebih muda. Kurang lebih setelinga Rani tingginya. Dan di belakangnya muncul sosok yang kukenal dengan tampilan tak biasanya. Yaitu Tika, dengan jilbab lebar melindungi kepalanya. Begitu indah tampilannya. Itulah penampilan yang selalu kuimpi-impikan padanya.

Tak lama berselang, Kulihat Rani menoleh ke belakang. Bicara pada Tika dan jemari telunjuknya menunjuk ke seberang. Tika melayangkan pandang, kemudian senyum di bibirnya terkembang. Langkahnya melenggang, mendahului mereka untuk menyongsong kedatangan seseorang. Siapakah yang datang? Hingga Tika menyambutnya dengan ekspresi wajah senang. Ternyata seorang pria yang terlihat dewasa dan matang. Terlihat punggungnya yang tegap kulihat dari belakang. Tika menyalami dan mencium tangan pria itu dengan sayang. Bagai suami istri mereka berpasang. Menggunakan kendaraan mereka bersiap pulang. Berpamit pada Rani dan meninggalkan para gadis yang berlalu-lalang.

Kuberdiri. Ingin kuketahui. Siapa gerangan pria tadi? Apakah sosok itu adalah diriku di masa depan nanti? Coba kudekati. Tapi tubuh ini tak mampu melangkahkan kaki. Malah kemudian terjatuh tak mampu bangun lagi. Lalu pandangan jadi gelap dan sepi. Semua seperti mimpi.

.

.

.

Indera penciumanku menangkap aroma herbal.

"Tenang dulu, jangan bangun dulu." Suara seorang pria.

Kubuka mataku. Aku jadi bertanya-tanya. Tentang di mana aku ini. Ada apa denganku. Mengapa aku di sini. Serta tentang kejadian yang tadi kulihat seperti mimpi. Dan sebagainya, dan sebagainya. Indera penciumanku menangkap aroma herbal. Dan indera pendengaranku menangkap suara aktifitas sekelompok orang pria.

"Syukurlah, lu udah sadar." Ternyata itu suara Nizam, kawanku.

Kutolehkan kepalaku padanya. Wajahnya terluka dan dadanya terbalut kain perban. Masih dalam keadaan berbaring, lalu kutolehkan kepalaku ke arah luar rumah. Terlihat beberapa pria berlatih beladiri, seperti Muay Thai kalau tidak salah. Lalu kuedarkan pandanganku ke suasana rumah ini. Sepertinya jenis rumah panggung, tradisional Thailand. Banyak bagian terbuat dari kayu, dan kesannya klasik pedesaan.

"Kita di rumah seorang tabib, yang menyelamatkan kita saat kerusuhan kemarin. Itu orangnya lagi ngajar beladiri di samping rumah." Nizam menjelaskan padaku. "Dan gue udah siuman sekitar tiga jam yang lalu."

Kemudian kulihat tubuhku sendiri. Sepertinya lebih parah dari Nizam. Banyak balutan di tubuhku.

"Kita ada di sudut kota Bangkok. Suasananya cenderung pedesaan. Tempat ini agak tak terlihat. Kontras dengan pusat kota."

Pak tabib itu melangkah menuju dalam rumah. Murid-muridnya beristirahat.

"Namanya Phakin, tadi beliau memperkenalkan diri sama gue."

Setelah melihatku, Pak Phakin ini tersenyum menyadari aku sudah siuman. Lalu menyapaku dengan bahasa Thai. Lumayan kupahami karena sudah dua tahun aku tinggal di Thailand. Kemudian beliau melongok ke dalam.

"Nok!" Sepertinya sedang memanggil seseorang.

Sahutan jawaban terdengar dari dalam. Pemilik suara lembut itu menampakkan paras cantiknya. Dengan agak malu-malu membawa nampan yang menyangga teko dan cawan. Aroma herbal kembali menyeruak.

Dalam bahasa setempat, kata nok artinya burung. Sering digunakan untuk nama panggilan atau nickname bagi anak perempuan. Mungkin pada masa kecilnya, gadis ini lincah seperti burung. Pemberian nama panggilan yang seringkali tak ada hubungan dengan nama formal lengkap, atau terkadang malah aneh seperti nama buah-buahan, adalah hal yang lumrah di negeri ini.

"Minumlah ramuan herbal ini untuk memulihkan tubuh kalian. Luka-luka kalian juga sudah kuobati kemarin." Pak Phakin menjelaskan ramuan tersebut pada kami. "Ini berbahan tanaman-tanaman khas di sini, sangat berkhasiat digunakan untuk berbagai macam obat."

Gadis berambut panjang dengan panggilan "Nok" itu menuangkan ramuan herbal dari teko ke cawan-cawan untuk kami. Dan ikut duduk bersama kami. Aku jadi teringat tentang sebuah adat di Jawa ketika seorang pemuda berniat mengenali seorang gadis, maka ia akan mendatangi orang tua si gadis. Dan orang tua tersebut akan memanggil si gadis untuk menyuguhkan minuman untuk si pemuda. Dan selanjutnya setelah melihat si gadis, maka si pemuda akan memutuskan apakah berniat menjadikan si gadis calon istri. Jika iya, maka orang tua si gadis akan menawari putrinya apakah bersedia menikah dengan pemuda tadi. Ah, aku jadi tersenyum sendiri.

"Luka kalian sangat parah. Masih baik aku tak terlambat, sehingga kalian masih bisa diobati dan tertolong."

"Terima kasih sekali, Pak. Sungguh besar pertolongan Anda pada kami."

"Jadi kemarin itu ada kerusuhan. Banyak aktifis yang tidak menyukai sikap Raja akhir-akhir ini serta kebijakan kerajaan." Beliau menjelaskan kejadian kemarin. "Apalagi para aktifis yang membenci sistem pemerintahan kerajaan yang dianggapnya usang."

"Tapi kenapa seperti tak terduga, Pak"

"Ya, memang saking parahnya jadi tak terkontrol. Sepertinya mereka belum mendapat izin untuk unjuk rasa, karena unjuk rasa yang sudah diketahui akan digelar tidak melewati daerah itu. Saat ini situasi negara sedang genting."

Mengulang HidupTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang