#3. ▬esok

161 26 16
                                    


kawani rinai.

Terbasuh hujan. Kini buat roma petrikor menguar, lalu membaur dengan sekitar. Derai kemudian mereda, dan kini telah berganti menjadi rinai. Menarik sepasang tangan menjuntai, oleh sebab pekat penasaran sebagai perangai.

Peraba rasakan, tiap bulir yang menerpa. Sesekali terkikik, oleh karena tanggapi rintik air yang menggelitik. Sirah yang terbalut tudung dari jaket menengadah, selarasi permata cantik, yang mana terpancar gelabah, pada setiap guliran ekor yang merapah.

Desis terdengar, disusul derap tapak. Yang kian mendekat, untuk rapati jarak. Sepasang tangan asing ikut menjulur, disertai bariton yang berhasil menariknya dari lamun, "Hai,"

"M-mitsuya?"

Dan satria hanya mengukir senyum tipis, "Kamu sendirian aja?"

***

Kedua tangan saling di gosokkan, sesekali di tiup pelan. Demi halau rasa dingin yang kian menjelajahi rongga dada. Meski percuma, beku tetap dirasa.
Manik kembali tatapi bentangan angkasa. Kini rona keemasan melesap, oleh karena dirambati perlahan, oleh sang kegelapan. Tagih janjinya untuk bertukar peran.

"Kamu udah lama?"

Meluncur begitu saja. Setelah beberapa sekon termakan senyap.

"Ngga kok," jawab kusuma, kini sepenuhnya menoleh pada figur di sisi, "Mitsuya darimana?"

"Cuma dari toko kain,"

Permata cantik kemudian mengerjap. Beberapa kali, heran terlukis kentara. Hendak kembali bertanya walau semula dirundung lenggana, "Toko kain?"

Mitsuya mengangguk.

"Buat apa?" kusuma kembali bertanya.

"Beli sabu,"

(name) melotot, "Hah!?"

"Bercanda," sambar sang satria lekas, "Ya buat beli kain, lah. Mau ngapain lagi emang?" kekehnya diakhir kata.

Kusuma mengulum bibir, merutuki kebodohannya barusan. Kemudian hanyut dalam kalut, hingga suara satria kembali menyahut, "Sore-sore gini baru pulang, darimana aja?"

"Dari perpustakaan, malah ketiduran sampe sore." ujarnya, lalu terjeda helaan napas sejenak, "Jadi gini, deh."

"Kenapa ga pasang alarm?"

"Lupa," jawab kusuma singkat.

Senyum miring terulas, lantas kembali bertanya. Dengan niat menjahili figur kusuma disisi, "Harusnya tadi minta aku aja, buat bangunin kamu."

Dan kemudian, sirah dengan hiasan pita biru menoleh kilat, "Banyak mau!" sambarnya, tak lupa disertai pelototan sinis. Yang mana undang kurva anak adam bergetar, seolah tengah menahan tawa.

Kelereng lavender menatap figur yang masih sibuk mencibir, kemudian turun. Hingga atensi terkunci penuh pada ujung jari milik kusuma, mulai berkeriput. Dan juga membiru. Gadis itu kedinginan.

Tiap hembus nafas yang keluar, terganti, lalu berbaur dengan uap beku. Yang setiap detiknya, buat kaki yang berpijak semakin terpaku. Enggan untuk tinggal, namun dijebak dalam kuasa sang waktu.

Jaket yang dikenakan semakin dieratkan, gerakan tangan yang masih saling menggosok terhenti. Oleh karena sepasang tangan lain, tengah bertengger pada pipi merahnya.

"Mitsuya?"

"Kayaknya ngga terlalu bikin anget, sih. Tapi daripada ngga sama sekali, kan?" tutur satria.

Kelereng puan mengerjab pelan.

Cengiran melebar. Yang mana tarik kurva lain untuk ikut mekar.

"Tambah ini ngga papa, kan?" sambungnya, dengan tangan kekar mengamit milik sang puan. Untuk dibalut dalam miliknya.

Sengatan panas dirasa. Hinggapi pipi, entah sejak kapan. Pupil puan melebar. Tak disangka-sangka, aksi yang dilakukan si satria. Ia terdiam, tak bisa berucap. Padahal sedari tadi banyak gemuruh yang berteriak tanpa laku. Namun hilang ditelan kelu.

Tautan tangan ditarik dalam larian kecil. Undang pekikan kecil dari kusuma. Akan tetapi masih biarkan diri berpasrah dalam kuasanya, "Mau kemana?"

Mitsuya tertawa. Buat anak hawa terhanyut dalam lakuna. Lantas dengan senyum yang tak kunjung pudar itu, ia berkata, "Ayo cepet lari. Keburu bis-nya udah jalan jauh!"











•••

ᝰ esok↬mitsuyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang