#4. ▬esok

131 27 24
                                    

tarian kuas
dan kanvas.

Kuas di genggam erat. Kanvas kosong hendak diisi, lalu dengan bergegas ia menari. Padukan ragam sentuhan kreasi, hingga dirasa siap untuk diwarnai.

"Bener kaya gini, kan?"

Kusuma bersuara. Dengan ragu, ia kembali memaku figur yang tengah berpangku dagu. Menatapnya.

"Bukan kaya gitu," jawab si satria, lantas tangannya mengamit milik sang puan. Tentu tanpa komando. Lalu dengan santainya membimbing tangan miliknya, demi dilenggak-lenggokkan di atas kanvas. Yang mana sedemikian rupa membentuk garis-garis, dan dengan apiknya terlukis.

"Nah, yang ini masih perlu diarsir dikit." jelasnya, kini kelereng lilacnya menatap penuh anak hawa, "Paham, kan?"

(name) mengangguk.

Kembali berfokus pada kertas di depannya, sirah dengan bando biru itu menunduk, sebab tatapi coretan yang baru setengah terbentuk, "Aku ngga nyangka, mitsuya ternyata ikut ekskul jahit."

"Lho? Kenapa emang?"

Kusuma menoleh. Kini keduanya beradu pandang, "Ya ngga nyangka aja," kikuknya di akhir.

"Sebenernya cuma buat ngisi waktu, sih. Eh ketagihan."

Kelereng puan masih tatapi sketsa rancangan yang akan dikerjakannya, "Aku juga ngga nyangka kamu pinter ngelukis,"

Terjeda. Kini alis khas satria dinaik-turunkan, lalu dengan gestur jenaka, ia kembali berkata, "Mungkin besok-besok aku bakal sering ngerepotin kamu,"

"Maksudnya?"

Alis kusuma bertaut heran, masih setia menatap anak adam di hadapan.

"Ya kaya gini,"

Tangan mitsuya meraih salah satu kertas, lalu diangkat seujung dada, sebagai pembatas, "Kalo gini kan aku tinggal gambar sketsanya doang, kamu nya yang ngasih warna."

"Nah lho mulai lagi," kusuma memutar bola matanya jengah. Entah sampai kapan harus menghadapi sifat sang pemuda. Ia sudah terlalu lelah.

Tawa satria kemudian menggelengar.

"Bukannya kamu harusnya seneng? Itung-itung kita jadi makin sering main bareng,"

"Ngawur banget!" sambar kusuma, lalu kembali menilik kertas miliknya. Dengan bibir yang tak henti-hentinya mencibir, "Kambuh kan narsisnya,"

Tawa pemuda mereda, namun ujung bibir kembali tergoda. Untuk kembali tersenyum lebar, dikala tatapi kusuma. Yang mana selalu terlihat mekar, laksana puspita, kembangi dan lengkapi ranah asmaraloka. Buatnya terleka akan buaian euforia.

Dalam hati, ia kembali bertanya.

Bolehkah ia memilikinya?

Kelereng lavender kembali menilik kusuma. Yang mana masih bergulat ria, dengan gambar yang masih berupa candramawa.

"Ngomong-ngomong tentang kanvas,"

"Hm? Kenapa?"

Cakapnya menyita atensi kusuma. Ketika kembali beradu pandang, tanpa sadar satria malah terbelit payah, meski hanya sekedar untuk meneguk ludah.

"Dunia itu kayak kanvas kosong, bukan?"

Sejenak, kusuma terhenyak.

Mitsuya menggapai tangan gadis dengan surai sepunggung itu, lalu dibawa dalam celupan warna. Yang kemudian ditorehkan pada kanvas kosong. Dituntun. Menuju goresan demi goresan berwarna-warni.

"Walau dengan segenggam keberanian, dan juga harapan kecil. Dengan segenap apa yang kita punya, maka lukiskan lah."

Masih dengan aksinya, tangannya masih menggenggam milik kusuma, untuk kembali di tarikan dalam melodinya. Dan kemudian terhenti. Buat kusuma terbingung, kendati tak ditunjukkan secara langsung.

"Aku suka senyummu,"

Kusuma tertegun. Dikala surai lavender itu kembali berayun, serta degub kencang yang kini tetiba mencagun.

"Aku suka kamu, dan juga tawamu. Mungkin suka segalanya tentang kamu."

Kembali terjeda. Mitsuya menahan napasnya, membasahi kerongkongan yang tiba-tiba saja terasa kering, lalu kembali melanjutkan, "Boleh aku jadi salah satu dari kesekian alasan dari semua itu?

Genggaman dieratkan.

Sirah satria lantas didongakkan, sedikit meringis kecil. Dan tak lama senyum manis terbit di ujung bibir, "Sebagaimana pancawarna baluri, hiasi, dan dekapi kanvas, untuk dijadikan sebagai mahakarya karenanya. Ku torehkan ungu, jingga, hingga biru. Apapun itu. Agar kau tau, hidup tak hanya sekedar tentang putih saja."

"Dan kendati jika semua warna, telah menjadikanmu sebagai puspa, bak bintang utama yang selalu terbalut palawa, aku tetap ingin menjadi salah satu diantara mereka,"

"Yang mana menjadi bagian, dari warna-warna yang menghiasimu. Aku masih, dan tetap ingin menjadi salah satu dari kesekian kuasmu."

"Apa boleh?"






•••

ᝰ esok↬mitsuyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang