#2. ▬esok

253 35 16
                                    

▬▬namamu, tawamu,
apalagi dirimu.

Tertawa lepas, oleh sebab sepatah kalimat terlontar, untuk kesekian lama mereka berada dalam posisi yang sama. Pemuda mengulum bibir, saat sadari bahwa telah berkata kurang pantas.

Kemudian, dengan rona hebat dalam pahatan menawan, coba untuk mendongak, guna tatapi figur yang masih sama.

Gelaknya. Ah, mungkin akan menjadi kesukaannya, mulai hari ini.

Permata cerah menyipit, lantaran tawa hebatnya kini mendominasi ruang. Hingga kemudian mereda, lantas memadu manik pemuda, "Aku tahu, terima kasih."

Ucapnya sejenak buat pemilik surai lilac terhenyak. Ia kira pemudi dalam hadapan akan menamparnya? Atau mungkin merasa jijik karena ulahnya.

"Kau tidak marah?"

"Untuk apa?"

Benar, ucapannya faktual? Memang yang dia lakukan tadi hanya memujinya, bukan?

Anak hawa di hadapan memang begitu cantik.

Oh, lupakan. Ia terlihat seperti orang mesum sekarang.

Ia mengulurkan tangan, dengan kurva terukir pada paras, tarik detakan yang menggila dua kali lebih keras.

"Butuh bantuan?"

***

Setangkai gula-gula disodorkan.

"Ambilah,"

Katanya, dengan kaki berayun ringan, sembari nikmati manisan yang dicecap, kini mengundang alun ditengah kulum.

Manisan diraih, lantas dibuka guna tanggapi pinta kusuma.

Tak ada pembicaraan, biarkan hening merajai sejenak.

"Lho? Sudah habis?"

Kusuma ditoleh, cermati air wajah, kini terpasang cemberut pada bibir kecil. Tanpa sadar buat anak adam meneguk ludah.

"Kamu suka manisan?"

Tanya pemuda. Kemudian dibalas anggukan mantap, "Begitulah,"

Kelereng lavender lantas bergulir, menilik lecet pada punggung tangan, dan juga siku. Kemudian turun, lalu ekor mata terpaku, tatkala dapati lutut sang gadis berlumur darah yang kini telah mengering, juga lebam biru.

"Kamu terluka,"

"Huh?"

"Kamu terluka," ulang pemuda, telunjuk arahkan pada maksud yang dituju. Sedang kusuma bergeming, biarkan sang satria bertekuk lutut. Entah apa yang ia lakukan.

Plester ditampalkan, lalu dielus pelan, kemudian tanpa diduga, ditambahi kecupan singkat sebagai afeksi kecil. Undang semburat tipis terpatri, yang sayangnya tak ia sadari.

"Kata mama, kalo lukanya di cium, nanti bakalan cepet sembuhnya,"

"--jangan pake acara jatuh lagi, ya?" tambahnya.

Kusuma mengulum bibir, sedikit tersentuh atas aksi satria. Kemudian membuka suara,

"Kenapa?"

Satria tertawa, kemudian mendongak, guna tatapi pujaan hati, "Soalnya plester ku udah habis,"

"Apa-apaan?!"

Menyungut sebal, disusul desah jengah. Kenapa pula tadinya ia berharap lebih? Ini tak lebih dari jumpa pertama mereka.

Sepertinya. Atau mungkin akan berganti pada esok hari?

"Bercanda,"

Satria masih tertawa, lantas bangkit, untuk menepuk pelan pucuk kepala. Kini bersipandang, "Namamu?"

Kelereng lavender kembali memadu permata cerah, tatapi cerminan diri dari manik yang merapah.

Oleh karena saling menyelami masing diri. Lenakan pribadi untuk mengagumi. Selayaknya puja sang lintang, kini melebur dan terbaur dalam jumantara yang membentang.

"(Fullname), itu namaku."





•••

ᝰ esok↬mitsuyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang