Seorang pria tengah termenung menatap padatnya jalan raya. Matanya tajam, dengan sedikit rasa sakit.
"Kenapa sesakit ini? Padahal ini yang gue mau." pria itu menggumam. Meremas ponsel yang berada di tangannya kuat.
"Apa gue salah?"
"Dian, keluar, Nak. Kamu kenapa di dalam kamar terus? kamu belum ada sarapan dari tadi pagi loh."
Dian mengangguk, kemudian melangkah mendekati wanita paruh baya yang memanggilnya.
"Iya, Mom." Jawabnya sambil tersenyum. Wanita itu mengangguk, kemudian menggandeng tangan anaknya lembut.
"Kamu lagi putus cinta ya?" Dian menggeleng.
"Terus? Kenapa ngelamun?" Dian sekali lagi menggeleng. Wanita itu tersenyum pasrah, menatap sayu anak tunggalnya.
"Kalau ada masalah cerita, Dian. Jangan ditahan. Mom, enggak akan marah, cuma karena kamu cerita masalah kamu." Wanita itu tersenyum lembut, lalu berubah menjadi datar.
****
"Sudah pulang kamu. Saya pikir, kamu bakalan pergi dari rumah ini. Ternyata enggak, ya."
Febri yang sedang duduk di sofa terdiam mendengar sindiran dari Kakak tirinya itu.
"Hm, tidak. Ini rumah, Ayahku dan diwariskan untukku. Bukan untuk anda atau siapapun. Jadi bukannya seharusnya anda sadar diri dengan posisi anda?" Ucap Febri ketus. Kepalanya mengadah ke atas dengan mata yang terpejam erat.
"Kamu benar. Tapi, kamu jangan lupa," perempuan itu mendekati Febri, kemudian mencengkram pipinya kuat-kuat.
"Jika aku mau. Aku bisa saja meracunimu, dan semua harta milikmu menjadi milikku. Tapi sampai sekarang aku tidak melakukannya 'kan? Jadi kamu harus turuti keinginanku."
Febri mengangguk malas. "Apa?"
"Lelaki yang sering kamu kejar-kejar. Buat dia dekat denganku. Itu saja, simpel bukan?" Febri tersenyum mirip miring. Menatap Kakak tirinya yang ternyata sangat tergoda dengan paras Mantan sahabatnya.
Ya, karena sebelum menjadi orang yang paling di kejar-kejar oleh Febri. Dian adalah sahabat satu-satunya, dan karena sebuah insiden mereka terpaksa menjauh. Tapi sayangnya itu tidak berlaku bagi Febri. Febri semakin gencar, dan gencar mendekati, Dian.
Tapi seperti kata orang. "Hidup itu drama. Jadi ya, tinggal ikuti saja alurnya"
Dan Febri ingin seperti itu. Mengikuti alur, tanpa beban, tanpa sakit di hati dan badan. Hanya itu.
"Itu aja? Oke. Ini aku kasih nomornya." Febri tersenyum culas, memandang Kakak tirinya yang terlalu polos tajam.
'Kau memang bodoh. Sesuai dengan namamu, Bellla Bodh.'
"Oke, sip. Thanks."
Bella tersenyum senang, kemudian langsung pergi meninggalkan Febri yang entah kenapa merasa seru dengan kelanjutan dari drama kehidupannya.
Dengan mata yang tajam, Febri mendengus. "Kau salah lawan, Kak."
"Ayah 'tak merawatku seperti anak perempuan lainnya. Melainkan seperti anak laki-laki. Aku dibesarkan dengan segala peraturan yang harus terus aku jalankan, dengan didikan yang sama sekali mungkin tidak bisa terima banyak orang. Kau salah bermain-main denganku."
KAMU SEDANG MEMBACA
Plankton
Teen Fiction"Lo menjijikkan, tapi entah kenapa gue enggak pernah bisa benci sama Lo." "Alasannya simpel sih. Karena benci itu cinta. Jadi, ya ... kamu paham 'kan?" a story'by Your Majesty @copyright2021