"Lucius lihat ini!" terlihat, seorang anak perempuan bersurai putih bergelombang terurai itu menunjukkan sebuah cincin dengan permata berwarna biru yang jernih. Lucius hanya memandang datar tanpa minat, pandangan nya terfokus pada senyuman manis yang anak perempuan itu berikan."hn." hanya kata itulah yang akhirnya keluar dari mulutnya.
"dingin banget sih jadi orang," kata nya sambil memanyunkan bibirnya ke depan. Kemudian perempuan itu memilih duduk di samping Lucius yang tengah membaca sebuah buku dengan sampul berwarna hitam pekat dan lambang Raja Neraka itu.
"walau dingin kamu tetap tampan!" Lucius menghela nafas, sampai kapan anak ini akan mengganggu konsentrasi nya?
"Lucius-sama raja ingin bertemu dengan Anda." seseorang dengan pakaian ksatria datang kemudian membungkuk dan memberi hormat, kemudian memberitahu kan apa maksud kedatangannya kali ini. Lucius berdiri dari duduknya, kemudian mengangguk mengerti, "aku datang." dan meninggalkan anak perempuan itu tanpa mengucapkan apapun. Sedangkan si anak perempuan itu hanya tersenyum memaklumi tingkah Lucius terhadap nya.
..
.
.
Lucius membuka matanya, ia menatap sekelilingnya yang mulai sepi. Menyisakan dirinya dan Angga, beserta Revan, Anggi, Keira, dan Radit."bangun juga lu." ucap Angga sambil memberikan nya sebuah buku. Buku itu berisikan PR yang sudah dinilai oleh guru.
"ada apa tuh ribut-ribut?" tanya Keira penasaran. Ia sedikit mencondongkan tubuhnya ke luar jendela untuk melihat apa yang terjadi, matanya sedikit menyipit untuk melihat dengan jelas apa yang terjadi. Diluar, tepat nya di depan gerbang terlihat banyak sekali kerumunan. Entah apa yang terjadi.
"Aku merasakan sesuatu," kata Revan dengan suara kecilnya. Revan terlihat dingin di depan siapapun, tetapi ia tidak akan menunjukkan sikap dinginnya di hadapan temannya. Lagian, Revan dah kenal Lucius dari kecil. Pintu terbuka, menampakkan si Rain dengan wajahnya yang kesal.
"ingin rasanya aku mencincang nya menjadi bagian-bagian kecil," gumamnya seraya duduk di kursi nya dan mengambil sebuah notebook yang selalu ia bawa kemanapun. Bahkan, saat itu pun ia tak berani menyimpan nya di nakas. Dengan kata lain, notebook itu ia bawa ketika ia tidur juga. Kecuali mandi.
Notebook dengan sampul hitam dan terlihat masih baru walau sudah lama ia memiliki notebook tersebut. Angga berjalan mendekati Rain, berniat untuk mengajak nya bergabung jika saja seseorang datang dan langsung masuk ke kelas dan hampir aja baku hantam dengan Lucius. Ia tak lain adalah Dion, anak kelas 10A.
"Dion apa-apaan kamu?!" Anggi dengan sigap menahan tonjokan Dion, sementara Keira bertanya kepadanya dengan wajah gelap. Sedangkan di daun pintu, ada seorang anak perempuan se-usia tengah menonton dengan menyenderkan punggungnya ke tembok dan menyilang kedua tangannya di depan dada.
"Orang seperti mu pantas mati." ujar Dion, nada nya terdengar tidak ramah.
"Orang yang berhak mati adalah orang yang sama sekali tidak menghargai hidup seseorang. Lagian, hanya Tuhan yang berhak menentukan siapa yang mati. Aku benar kan?" tanya Radit sambil memainkan pena nya. Ia bahkan tak peduli dengan perempuan yang tadinya menonton kini berjalan ke arah nya dengan penuh amarah.
"lo beluma ngerasain gimana rasanya di tusuk pake pisau ya?" ancam si perempuan yang berjalan menghampirinya. Radit menyeringai, ia sama sekali tidak takut dengan ancaman yang perempuan--oh maaf ia punya nama, ya namanya adalah Erlita. Erlita mengeluarkan hawa membunuhnya, membuat udara di sekitarnya memberat. Erlita itu terkanal kejam, ia gak akan segan langsung bunuh orang yang membuat nya kesal. Bahkan jika itu di depan banyak orang. Ia tetap akan membunuhnya.
"Ah benar juga tingkah mu itu mengingatkan ku pada nya. Ya, kalian benar-benar mirip. Bukan mirip lagi, kalian memang mirip!" Rain tiba-tiba saja ikut dalam perbincangan. Kali ini tatapan keduanya bertemu, manik sebiru langit milik Erlita bertemu dengan manik mata berwarna ungu milik Rain. Tepatnya, ungu dan biru. Dengan kata lain, Rain terlahir dengan memiliki dua bola mata dengan warna berbeda. Yang kanan ungu, sedangkan yang kiri berwarna biru.
"Yang aku katakan benar bukan, Sat? juga berhenti sembunyi. Kau pikir dapat membuat ku tertipu?" Rain menatap malas ke arah jendela yang terbuka. Sedetik kemudian, sebuah penampakan terlihat. Pemuda dengan rambut panjang berwarna merah dan manik jingga nya itu kini tengah menunjukkan diri nya dengan posisi kepala di bawah, sedangkan kaki tengah menahan beban dan menempatkan nya pada salah satu tembok yang ada di dekat jendela. Anak ini sangat nekat.
"Ya aku sudah menduga bahwa aku tak dapat menipu mu. Ngomong-ngomong gimana kabarmu?" jawabnya yang kini membuat Dion sedikit terkejut. Bagaimanapun juga anak yang muncul di jendela juga berstatus sebagai rival nya. tentu nya selain Lucius, masih banyak rival yang Dion miliki.
"Kuy! Kita kumpul bareng ama yang laen." Rain menatapnya tak peduli. Ia kembali terfokus dengan notebook yang ia keluarkan dari tasnya.
"Baru masuk langsung di cuekin. Haduh," gumam nya seraya memasuki kelas. Tepat saat itu juga suara sirene ambulance terdengar, membuat sebagian besar murid heboh dan bertanya-tanya apa yang terjadi.
"Mereka melakukan nya dengan sangat baik ya, Dion." Erlita menunjukkan seringaian anggkuh dan tatapan sinis terhadap Lucius dan yang lainnya.
Sampai, semuanya dikejutkan dengan teriakan yang berasal dari lorong koridor.
"OY! ARKAN TUNGGU DULU!" teriak bu Maya sambil berlari menyusul Arkan yang kini tengah menyusul sang ketos ke tempat ambulans berhenti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Supernatural Power
ParanormalKisah ini akan berfokus pada Lucius Argantara, anak kelas yang dingin, dan Arkan Pratama si anak baru kelas 10C SMAN 01 Bumi Pertiwi.