Move On

16 1 0
                                    

Sudah terhitung dua minggu semenjak pernikahan Radit, mantannya Sekar. Kini Sekar disibukkan dengan pekerjaan barunya sebagai karyawan di sebuah perusahaan, dia melamar pekerjaan di bagian administrasi sekitar dua tahun lalu di perusahaan ini. Dan untungnya dia diterima tanpa harus repot-repot memikirkan ke mana dia akan melamar kerja jika di sini dia ditolak.

Semenjak dua jam lalu Sekar masih berurusan dengan data-data di dalam komputer di depannya. Kacamata anti radiasi miliknya masih tersampir dengan apik di atas hidungnya, juga segelas kopi capuccino di samping komputer. Wajah yang terlihat lelah itu masih fokus ke depan layar, kantung matanya juga terlihat jelas karena akhir-akhir ini banyak yang harus dia kerjakan. Ya, akhir bulan memang waktu yang melelahkan untuk bekerja.

Selain pekerjaan yang menumpuk, tercetaknya kantung mata itu juga karena dia masih sering menangis memikirkan kandasnya hubungan dengan Radit. Meski dia sudah merelakan sang mantan pacar, tapi tetap saja rasa sedih dan sakit itu masih menempel kuat padanya, bagai prangko di sebuah surat.

Sedikit banyak Sekar sadar harus segera move on dari masa pahitnya ini. Mencoba untuk melangkah maju ke depan dengan riang gembira, tetapi sekali lagi itu masih terasa sangat sulit untuk dilakukan. Dia masih butuh waktu, mungkin juga butuh sesuatu untuk mendorongnya agar cepat sembuh dari keterpurukannya kini.

Tangannya meraih cangkir kopi miliknya dan meminumnya, rasa kantuk tak serta merta pergi saat menggunungnya pekerjaan Sekar. Selain itu juga denyut nyeri di kepalanya ikut serta menambah beban masalahnya di akhir bulan ini. Melelahkan!

Dilihatnya jam menunjukkan jam 11 kurang 25 menit. Itu artinya kurang lebih sebentar lagi istirahat makan siang, dia kembali memfokuskan seluruh atensinya pada pekerjaannya. Jam istirahat nanti dia akan segera pergi ke sebuah kafe untuk makan siang di sana, dia sedang malas makan siang di kantor. Terlalu sumpek. Aroma kantor membuatnya semakin pening saja rasanya.

Bunyi tik-tik pada keyboard komputer itu menjadi suara pengisi di ruang kerja Sekar. Kecil, tapi ramai. Ada sekitar 50 jari yang bekerja di ruangan itu, salah satunya Sekar dan empat lainnya rekan kerja satu ruangannya. Mereka akan berisik di waktu yang tidak tertekan dan terasa mencekik seperti ini, bekerja dibawah tekanan batin memang membuat mereka jadi pribadi yang pendiam.

"Eh," Sebuah suara dari yang paling tertua di sana menginterupsi. "Bentar lagi istirahat makan siang. Kalian mau pada makan apa?"

Definisi sebentar itu sebenarnya satu jam sebelum waktunya. Bagi mereka berlima tentunya.

"Aku mau go food aja kayaknya," jawab Kafita si yang paling muda di ruangan itu.

Sekar menimang sebentar sebelum menjawab, "Aku kayaknya mau makan di luar, deh. Sumpek soalnya di sini. Bang Sam mau makan di mana?" tanya Sekar pada si pria yang paling tua itu.

"Aku juga paling di sekitar kantor, sih. Sambil nongkrong," jawab Sammy.

"Bareng aku aja kalau gitu, aku tau tempat yang rekomen banget." Sekar mengusulkan dan diangguki oleh Sammy.

"Tapi aku shalat Dzuhur dulu," kata Sammy yang diangguki Sekar. "Selain Kafita yang mau go food. Pravita sama Tyo mau makan di mana?"

Pravita dan Tyo saling pandang. "Kita ikut Sekar sama Bang Sam aja," jawab keduanya serempak.

"Diskusi soal makan siangnya udahan dulu, sekarang fokus kerja biar cepet selesai dan dibolehin istirahat," kata seseorang yang baru masuk ke ruangan mereka, sehingga membuat kelimanya agak tersentak kaget.

Kafita mengelus dadanya. "Kaget astagfirullah."

"Tumben jam segini udah ke sini," kata Sammy pada kepala divisi mereka. "Lagi mumet, ya?"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 05, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

With You | Johnny NCTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang