🍁
Percayalah dia tetap cantik dalam pasi wajahnya sekalipun.
_________
Dia—selalu ingin punya banyak kesempatan dalam perputaran waktunya yang singkat bersama dengan seseorang yang dianggapnya begitu berharga. Alvito Adrian—selalu ingin menjadi tokoh utama dari setiap perjalanan yang terasa begitu lara, ia tak banyak mengungkapkan rasa nya, tapi ia mengerti bagaimana ia harus menyalurkan perasaannya.
Hah, jika saja dia diberikan banyak waktu hanya untuk dihabiskan bersama gadisnya ini, mungkin ia akan selalu meminta lebih. Dia selalu membayangkan, bagaimana ia menggenggam tangannya, bagaimana dirinya berjalan beriringan dengan gelak-tawa yang seiring mengisi kekosongan. Vito selalu ingin semuanya kembali dengan cepat, tanpa ada perasaan takut yang kemelut, tanpa perasaan khawatir yang selalu menumpuk. Dan ya benar saja, ia selalu ingin melewati waktunya dengan baik bersama Chika, hanya ada kebahagiaannya yang menyapa.
Katanya ; Tuhan akan segera memberikan momentum yang berharga, hanya karena sabar yang selalu menyerta.
"Vito."
"Ya,"
"Tuhan itu baik atau enggak sih?" Ada yang seakan menyayat hatinya cukup dalam, bagaimana bibir tipisnya mengucap beberapa kata yang membuatnya merasa gagal. Dia—Chika barangkali sudah cukup muak dengan situasi yang memaksa nya terlihat begitu lemah dan menyedihkan dihadapan orang-orang terdekat nya seperti ini. Barangkali pula isi kepalanya hanya persoalan bagaimana Tuhan menyayanginya dengan cara yang tentu saja tak seperti yang dia harapkan. Usapan lembut Vito berikan pada punggung tangan Chika, juga pandangannya pun tak pernah lepas begitu saja. Dia sakit, jelas—siapa yang akan baik-baik saja ketika menjadi saksinya bagaimana gadis yang dia sayangi seakan bertarung dengan singkatnya waktu. "Tuhan kan baik banget sama lo, dia sayang banget sama lo Chik."
"Iya kah?"
"Iya Yessica."
"Kalau gitu kenapa gue ada disini sekarang?" Terdengar begitu lirih namun terasa sangat menyayat. Vito—laki-laki 25 tahun itu masih tersenyum dengan lembut meskipun hatinya cukup nyeri berkali-kali.
Ah, sial. Ia sungguh benci berada disituasi seperti ini.
Rasanya ada yang ingin sekali Vito utarakan dengan keras pada sang pencipta, tentang bagaimana ke-protesannya mengenai gadisnya—Yessica Tamara yang kini harus kembali menyapa ruang dengan sudut-sudut yang terasa cukup mencengkam, tak lupa bau obat-obatannya yang menyengat penciuman, juga yang dengan paksa beberapa alat medis tertancap indah menghiasi beberapa bagian tubuh berharga Chika. Ada yang ingin sekali dia—Alvito Adrian tekankan kepada sang Tuhan, tentang perasaannya yang lemah akan Chika, juga tentang ketidak-tegaannya yang harus terus-menerus menjadi saksi bagaimana gadis cantiknya berjuang hanya untuk beberapa menit hidup. Ada yang selalu ingin Vito diskusikan dengan Tuhan, barangkali tentang ketidakadilan bagaimana gadisnya harus merasakan cobaan yang begitu besar menyelimutinya.
Ingin sekali Vito menembus ketidakmungkinan yang selalu menjadi latar kegilaannya sekarang. Jika saja sanggup, Vito akan mengatakan bagaimana bisa Tuhan berikan sakit dengan jaminan perpisahan yang luar biasa ditakutkan?
"Tuhan mau gue gimana?"
Vito menggeleng pelan, ia kelu tak mampu menjawabnya. Sungguh, jika boleh dirinya jujur pun, ia kerap mempertanyakan ini kepada Tuhan. Tentang—kasih yang seperti apa yang dirinya berikan kepada dia juga terutama pada Chika? Lelaki itu sebenarnya tak pernah paham teori-teorinya, ia selalu ingin mengatakan bahwa Tuhan tak cukup adil dengan Chika, sebab kasih yang dilimpahkan nya malah terasa begitu menyakitkan, bukan hanya untuk gadisnya saja, namun, untuk dia dan juga orang-orang terdekatnya. "Mau lo tetep sabar buat jalanin ini, mau lo dengan lapang buat nerima ini. Lo anak baik Chika, Tuhan enggak akan membeda-bedakan bukan? Mungkin—ya, mungkin caranya yang sedikit berbeda." Bukan, itu bukan Vito yang mengatakan, namun Satya—kakak lelaki Chika yang begitu tulus dan setia menjaga sang adik dengan penuh kasih sayangnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
A L W A Y S . i'll care .
Fanfictionuntuk mu aku akan sangat begitu keras kepala.