. tiga .

254 38 16
                                    

🍁

Kalau enggak ada di pikiran, aku percaya pasti ada di sini ; pada detak jantung yang sama.

_____________


"Mau dipotong abis rambutnya." Deg—langkahnya sedikit melambat, pandangannya lurus menatap Satya yang berjalan lebih dulu dihadapannya. "Kenapa?"

Satya menghentikan langkahnya, kemudian berbalik dengan senyum yang mengembang ia menatap Vito lekat. "Dia ngeluh rambutnya rontok, setiap dia tahu dia jadi sedih, dia juga kok yang minta."

"Mami?"

"Beliau setuju." Hah, entah mengapa rasanya begitu berat, langkahnya kembali terayun mengikuti jejak kaki Satya menuju kamar Chika yang dipindahkan menjadi di lantai bawah. Untuk pertama kali pintu terbuka, Vito melihat Object favoritnya tengah duduk bersandar bersama Christyan—sang adik yang tengah bercerita, sesekali tawa kecilnya terdengar. Vigo tersenyum dibalik sana, "cantik," Gumam Vito. Hembusan nafas Vito beradu dengan udara begitu saja, kala Chika mengangguk mengiyakan apa yang Satya bicarakan.

Hidup baru akan dimulai.

"Chika mengidap kanker otak stadium 2,"

Ia ingat. Ya, kalimat itu, Vito ingat dan bersumpah tak akan pernah melupakannya—kala untuk pertama kalinya ia merasa bahwa langit akan runtuh di atas kepalanya saat itu juga.

Rasanya ingin berteriak dengan sekeras-kerasnya, namun apa daya, dirinya terlampau lemah kala itu hanya untuk berbicara. Air matanya jatuh, ia besumpah bahwa ; hari itu adalah hari terburuk untuknya. Ya, bukan hanya dirinya yang merasakan hancur, keluarga juga orang-orang terdekat Chika, bahkan—dengan Chika sendiri, Vito ingat bagaimana ekspresi Chika kala telinganya harus mendengar kabar buruk atas dirinya, meskipun pada akhirnya Chika tersenyum lebar menanggapinya, ia tak memberikan kesan menyedihkan karena hari itu ia memberikan gummy smiley nya yang candu dengan tulus, yang entah mengapa terasa menyayat perasaan banyak orang di rungan itu. Bahkan kala pertama kalinya Satya—sang Kakak mengatakannya dengan sangat pilu, dekapan lemah yang Satya berikan mampu Chika kuatkan lebih dalam. Genggaman tangannya bahkan terasa begitu kuat untuk meyakinkan bahwa ia akan segera membaik.

Ya, berbanding balik bahwa kenyataannya bukan mereka yang menguatkan Chika, namun Chika yang menguatkan semuanya. Ia seakan mengatakan bahwa dirinya tidak papa dengan semua ini.

Vito ingat, ia hanya terdiam dalam lemasnya lutut juga mata yang berembun kala telinganya mendengar kalimat ; "it's okay, Chika percaya sama Tuhan, temenin Chika yah. Chika yakin banyak kesempatan yang bakal Chika dapetin, sekalipun itu sangat singkat." Meskipun satu ruangan memberikan reaksi menyedihkan, namun Chika tetap menguatkan mereka. Hah—Rasanya bumi yang menjadi pijakannya runtuh begitu saja. Vito hanya mampu berpaling, ia memilih untuk keluar dan menyelesaikan kehancurannya sendiri tanpa terlihat oleh Chika.

"Kak liat deh, rambut aku rontok." Ucapnya Chika beberapa minggu yang lalu. Vito juga ingat bagaimana gadis itu cemberut mengetahui jika rambutnya mulai berkurang karena efek kemoterapi yang dia jalani, sungguh terlihat begitu menggemaskan, ia tak bohong. Juga, Vito ingat pula bagaimana Satya menarik tubuh Chika dalam dekapan hangatnya, juga menjatuhkan kecupan penuh kasih sayang, juga Christyan yang tak henti memberikan genggaman hangat pada tangan lentik Chika.

Hah—andai semuanya tak terjadi, mungkin kali ini Chika masih tertawa lepas dan menghabiskan waktu tanpa kendala. Namun, ya hanya perandaian kecil yang selalu Vito gumamkan, rasanya banyak sekali kesia-siaan yang dirinya peroleh. Meski ingin menyalahkan Tuhan sekalipun, tapi ini adalah skenario takdir yang sudah tertulis atas Chika. Bahkan—gadis itu masih sempat mengatakan ; ini yang terbaik yang Tuhan berikan. Entahlah, kadang Vito ingin bertanya, terbuat dari apa hati mulia Chika? Meskipun tak bohong jika gadis itu sungguh lemah menerima kenyataannya, Vito tau itu, sebab beberapakali dirinya menjadi saksi bagaimana Chika menangis.

 A L W A Y S  . i'll care .Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang