Beberapa waktu yang lalu Kang Minhee pernah membacakan satu novel remaja. Aku tidak terlalu menyimak bagaimana isi ceritanya, namun ada satu kalimat yang sangat khas dari novel tersebut. Sebentar aku ingat-ingat dulu kalau tidak salah bunyinya seperti; "jangan rindu. Ini berat, kau takkan kuat biar aku saja?" Iya benar itu salah satu kalimat dalam novel Dilan; Dia adalah Dilanku tahun 1990. Aku setuju dengan kalimat tersebut. Benar kata Dilan—salah satu tokoh dalam novel tersebut. Rindu itu berat. Apalagi rindu kepala seseorang yang telah meninggalkanmu selama enam tahun tanpa kabar. Menghilang seolah ditelan bumi.
Tetapi aku berhasil melewatinya. Aku berhasil mehanan rindu kepala sosok lelaki didepanku ini selama enam tahun lamanya. Walaupun aku dalam kondisi tidak baik-baik saja selama enam tahun tersebut.
Ketika aku melihat sosoknya secara dekat. Aku berpikir ini mimpi. Seperti mimpi buruk yang selalu menghantuiku belakangan ini. Namun, ketika tangannya menggenggam jemariku erat, aku tau ini bukan sekedar ilusi. Genggamannya terasa begitu nyata.
"Aku tau. Kata maaf saja tidak cukup untuk menebus kesalahanku." Dia berkata sembari menatap wajahku lekat. "Tapi, percayalah aku melakukan ini juga demimu."
Jeno baru saja selesai bercerita. Tentang mengapa ia tiba-tiba pergi dan baru kembali setelah enam tahun ini, kenapa ia tidak bisa mengabariku, dan tentang Shin Ryujin. Oh ya tentu saja. Aku pikir ia pergi selama enam tahun ini untuk ya seperti cerita-cerita klasik pada umumnya. Ia yang dijodohkan dengan seorang wanita yang disukainya dan di lain sisi dia sudah punya kekasih. Aku malu pada diriku ketika dengan tidak etisnya aku sudah berpikir ia dijodohkan dengan gadis bermarga Shin itu. Hell, no. mereka sepupuan. Dan Jeno harus ke sana—Australia karena permintaan ayahnya untuk membantu Shin Ryujin mengurusi salah satu cabang perusahaan mereka yang di sana. Ayah Jeno merasa iba melihat Ryujin yang kewalahan memimpin perusahaan keluarga mereka sendirian. Terlebih ia seorang wanita.
"Hei, kau tidak apa-apa?" ia melambaikan tangannya di depan wajahku. Berusaha menarikku dari keheningan yang cukup lama.
"Aku baik."
Ia tersenyum. "Aku berpikir aku masih bermimpi. Melihatmu dalam jarak sedekat ini aku pikir hanyalah ilusiku karena aku terlalu merindukanmu. Ternyata tidak. Kau nyata."
"Kau tau," ia kembali membuka suara. "Ketika ayah mengabariku kalau aku sudah bisa kembali ke Seoul, aku pikir ayah hanya mengejekku. Tapi ketika aku menerima boarding pass dari Ryujin, aku merasa seperti hidup kembali. Seperti baru saja diinjeksi adrenaline. Beberapa hari sebelum kembali ke sini, aku susah tidur. Entah tapi yang kuingat aku hanya bisa tidur selama tiga jam. Seterusnya aku gelisah." Ia berhenti sejenak. Genggaman tangannya mengerat. "Pikiran-pikiran mengenai apa Jaemin sudah melupakanku? Enam tahun bukan waktu yang singkat. Mungkin dia sudah menyerah menungguku dan bisa saja ia sudah menemukan penggantiku."
Ia menghela napas kasar kemudian ia melanjutkan "Karena, biar bagaimanapun tidak ada yang akan baik-baik saja tentang sebuah perpisahan."
Aku terpaku mendengar rentetan kalimat yang keluar dari mulutnya. Hei! Seharusnya aku yang berpikir begitu! Tapi aku tidak mengatakan apa-apa hanya membiarkannya terus berceloteh tentang perasaan gundahnya.
"Ketika hari Chuseok, Natal ataupun tahun baru aku ingin berlibur ke sini. Tapi ayah selalu melarangku. Ia selalu beralasan kalau aku kembali menginjakkan kaki ke Seol lagi, konsentrasiku pada perusahaan akan buyar karena ia tau aku pasti akan mencarimu. Ia selalu mengatakan kalau Na Jaemin baik-baik saja di Seoul. Ayah bilang ia selalu mengirim orangnya untuk mengawasimu."
Sebentar... selama ini ada yang memata-mataiku? Yang benar saja! Aku sedang tidak berada dalam sebuah naskah drama bukan?
"Kau tau," ia tia-tiba tertawa. "Di tahun kedua kepindahanku ke Australia, aku membuat tindakan yang konyol. Aku pernah berencana untuk kabur diam-diam. Tapi begitu aku tiba di bandara, orang suruhan ayah langsung mencegat dan menyeretku paksa di sebuah mobil di parkiran bandara. Rupanya di sana ada ayahku. Dia berkata kalau aku berani kabur dari tanggung jawabku, ia tidak akan merestuku untuk menikahimu."