Kilas Balik

182 13 4
                                    

Demimu, aku mau.

Demimu, aku mampu.

Seterusnya, akan kuyakini kau sebagai ratu di setiap jejakku

.

.

.

Ketika diberitahu kalau dirinya harus berangkat ke Australia pekan depan respon pertama yang diproses otaknya adalah sekelebat bayang seorang lelaki manis yang menatapnya sembari melempar tersenyum. Sepasang bola mata kristal yang dimiliki lelaki itu selalu mampu melumpuhkan seluruh syaraf ditubuhnya.

Berangkat ke Australia berarti harus meninggalkan lelaki pemilik bola mata yang begitu dia puja. Bahkan untuk sedetik saja berpikir ia yang harus beranjak dari sisi lelaki itu saja ia tak mampu. Namun sekarang ia harus dihadapkan pada pilihan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.

Pergi...

Menjauh...

Dan meninggalkan...

Ia tak bisa. Ia sudah berjanji tidak akan pernah pergi dari sisi lelaki kesayangannya.

Waktu seolah berhenti. Jarum jam yang tergantung di dinding berdetak begitu lambat dirasanya sekarang. Ia ingin berlari menemui lelakinya. Ingin merengkuhnya dalam dekapan yang hangat. Mencium dalam keningnya dan mengucapkan kalimat penuh cinta dari bibirnya. Namun hal itu mustahil dilakukan. Mengingat sesosok bertubuh tambun dengan kacamata berlensa tebal yang bertengger di hidungnya tengah menatapnya lekat.

Mengamati serta mempelajari gestur apa yang tubuhnya respon begitu ultimatum yang dikatakannya telah mengudara selama duapuluh menit yang lalu. Ia dengan sabar menunggu dirinya untuk memberikan jawaban apa yang hendak dilontarkan.

"Jeno." Suara berat dan dalam. Tidak ada nada bersahabat di dalamnya. Jeno tahu Ayahnya bukan orang yang ramah.

"Aku mendengarkan, Ayah." Ucapnya

"Lalu, bagaimana? Kau tau, Ayah bukan tipikal yang penyabar. Jangan meragu dengan jawabanmu."

Jeno terdiam selama beberapa saat sebelum kemudian berujar, "Kenapa harus aku yang pergi? Bukankah masih ada Kakak?"

"Kakakmu sudah punya tugas sendiri."

Jeno menghembuskan napas berat. Terlalu bingung untuk meberikan jawaban. Pikirannya berkecamuk antara Ayah dan rencananya dan juga lelaki bernama Na Jaemin. Jika disuruh memilih, tanpa berpikir

panjang juga sudah pasti Jeno akan memilih tetap tinggal dengan lelaki itu. Namun sekarang di hadapannya saat ini adalah Ayahnya. Laki-laki yang telah membesarkannya sendirian ketika Ibunya telah tiada, yang membiayai seluruh keperluannya serta yang sangat tahu titik kelemahannya.

"Laki-laki itu akan baik-baik saja sendirian di Seoul. Ayah jamin itu."

Menjadi orangtua tunggal bagi Jeno dan kakaknya membuat William Lee begitu protektif kepada dua anaknya. Walau terkenal tidak peduli terhadap sekitar, tetapi William begitu mengawasi tindak-tanduk serta pola kembang kedua anaknya begitupun kisah asmara mereka.

"Ayah sangat mengenal keluarga Na. Juga laki-laki itu. Jadi kau tidak perlu khawatir berlebihan terhadapnya." Ayahnya berucap lagi. Seolah membujuk dirinya untuk memenuhi permintaan—perintah Ayahnya.

"Lagipula ini bukan sepenuhnya untuk kepuasan Ayah. Ini juga demi dirimu. Ketika kau bisa me-manage bisnis Ayah di sana. Itu berarti kau siap untuk menghadapi persaingan di pasar dunia. Dan itu berarti pula kau sudah mampu untuk memberi nafkah untuk lelaki kesayanganmu itu. Kau mengerti maksud Ayah bukan?" William menyandarkan duduknya sembari melepas kacamata. Netranya tak berpaling sedikitpun dari anak bungsunya.

Lacuna [NoMin]Where stories live. Discover now