"Ya! Hei! Awas kau! Aku pasti akan membalasmu!" pekikan seorang pemuda terdengar dari arah taman. Suatu sore yang tenang dan diringi dengan semilir angin musim semi. Di dalam taman tersebut hanya ada dua entitas. Seorang anak pemuda berambut coklat, dan jauh di depannya ada seorang anak laki-laki berambut hitam yang sedang terkikik ke arah pemuda yang berada di belakangnya.
Pemuda dengan surai coklat itu mendengus kesal melihat anak laki-laki yang tersenyum mengejeknya di kejauhan sana. Bahkan pipi pemuda itu sampai memerah. Ia kesal sekali tidak bisa membalas apa yang dilakukan anak laki-laki itu tadi terhadapnya. Masalah sepeleh, si surai coklat itu kesal ketika ditantang siapa yang lebih tinggi oleh anak laki-laki itu. Dan tentu saja pemuda itu akan kalah. Tinggi anak laki-laki di depannya itu beda jauh dengannya. Ia itu tidak tau tingginya berapa, tapi ketika mereka berdiri sejajar, tingginya hanya mencapai bahu anak laki-laki tersebut. Dan ia kesal karena hal itu. Ditambah ia diejek pendek oleh anak laki-laki yang sedang tertawa di sana.
Si pemuda coklat yang sedang cemberut karena kesal itu bernama Na Jaemin. Sedang anak laki-laki yang masih tertawa di sana itu bernama Lee Jeno. Keduanya sama-sama masih berusia 17 tahun.
Jaemin memilih beranjak dan menduduki salah satu ayunan yang berada di taman tersebut. Ia jengah lama-lama menonton Jeno yang menertawai dirinya.
Ia membuang muka acuh ketika Jeno menatapnya. Ia benci laki-laki itu. Ia benci kenapa dia kalah tinggi dengan Jeno. Kenapa tidak laki-laki itu saja yang pendek darinya? Huh, botak saja kau Jeno!
"Aduh, rupanya Tuan Muda Jaemin lagi kesal," Jeno berteriak. Ia berjalan mendekati Jaemin di ayunan. Ia berdiri tepat di hadapan pemuda itu. Tapi Jaemin masih membuang muka. Malas menatap wajah Jeno yang minta ditampar itu. "Tuan manis kesal kenapa?" goda Jeno kini sembari mencubit pipi Jaemin dengan gemas.
Jaemin meringis kemudian menepis tangan Jeno dari wajahnya. "Pergi sana!"
Jeno terkekeh. Jaemin memang seperti ini. Sifatnya suka mengusir orang kalau sedang kesal.
"Tuan Jaemin jangan kesal, dong. Seharusnya Tuan Jaemin senang karena Pangeran Jeno yang tampan ini memiliki tubuh yang tinggi." Jeno kembali menggoda Jaemin dan mendapat respon tatapan membunuh dari pemuda itu. Jeno tertawa untuk yang keberapa kalinya sore itu.
"Kau berani membuatku kesal, Jeno. Lihat saja aku akan membalasmu." Jaemin berujar.
"Kau tidak mungkin akan membalasku. Ya, tidak untuk beberapa tahun ke depan." Jeno berkata dan mengulurkan tangannya ke arah Jaemin yang lantas menyambut tangan laki-laki itu. Ia kemudian berdiri dan menyejajarkan tubuhnya dengan Jeno. "Aku akan tetap membalasmu."
"Iya. Kau pikirkan cara saja bagaimana membalasku. Sekarang kita pulang." Jeno menggenggam tangan Jaemin erat.
Keduanya berjalan pelan meninggalkan taman tersebut. Perkelahian kecil mereka tadi sirna digantikan tangan yang saling bertautan dan keduanya yang tersenyum satu sama lain.
***
Pukul 1 dini hari dan dua bola mata dengan iris coklat itu terbuka lebar. Peluh bercucuran di dahi pemilik iris coklat tersebut.
Sial. Mimpi itu lagi.
Jaemin mengatur napasnya sejenak. Seperti terkena Takikardi, jantungnya tiba-tiba berpacu lebih cepat. Ada yang aneh dengan dirinya selama seminggu ini. Tiap malam selalu mimpi yang sama yang dimimpikannya. Tapi kejadian yang terjadi dalam mimpinya itu memang pernah terjadi. Kenangan 6 tahun yang lalu itu kini merayap ke alam mimpinya.
Jaemin sadar ia memang merindukan sosok dalam kenangannya itu. Anak laki-laki itu, Lee Jeno.
Sosok yang merupakan kekasihnya. Sosok yang meninggalkannya 6 tahun yang lalu tanpa kata. Hanya secarik surat yang membuat Jaemin heran kenapa bisa ada di meja belajar kamarnya. Surat yang berisi kalau Jeno akan pergi. Dia minta maaf tidak bisa kuliah bersama dengan Jaemin. Minta maaf karena tidak pamit padanya. Minta maaf untuk segala kesalahannya pada Jaemin, dan bla-bla-bla. Jaemin terlalu malas untuk meneruskan membacanya.
YOU ARE READING
Lacuna [NoMin]
Fiksi PenggemarNa Jaemin hanya merindukan Lee Jeno... so desperately