Red Lights Project

16 7 1
                                    

Beberapa hari yang lalu ada surat anonim yang dipublikasikan di koran Veros, Alterium.

Red Lights Project : Spesimen 811

Malam pertama, aku dengar sebuah suara.

"Kau tahu aku tidak bisa bernapas tanpamu. Benar begitu, Narra?"

Aku yakin aku mengenal suara itu. Suara kakakku sendiri, yang sudah tewas dimakan Graum beberapa tahun silam.

Saat aku buka mataku, aku hanya lihat sebuah lampu yang menyala, yang sinarnya menembus ke mata rubahku. Telingaku berdiri, memerintah dirinya sendiri untuk menangkap suara-suara yang sebisanya ditangkap.

"Apa kau bisa bernapas tanpaku?"

Entah kenapa, darahku serasa dipanaskan hingga titik tertinggi. Aku ingin meneriakkan kata 'tidak!' karena memang aku tidak bisa hidup tanpanya. Selama ini aku hidup tanpa adanya tujuan. Aku tidak bisa hidup tanpanya.

Tak lama kemudian, sesosok Inere, dengan telinga dan ekor rubah berwarna merah muncul dari balik sisi yang lebih gelap. Sosoknya berbentuk siluet karena cahaya berwarna hijau tadi tak berhenti berpendar dengan menyilaukan.

"Hai," ucapnya.

Tidak. Aku pasti salah lihat. Tidak.

Aku menyaksikanmu tercabik saat itu. Darah dan organ tubuhmu bercecer dikoyak gigi Graum yang menyeramkan itu. Tidak, Kak. Orang ini pasti bukan kau.

"Apa kabar, Narra?" Dia berjalan mendekat.

Aku berusaha beranjak dari posisiku sekarang, tapi tidak bisa. Tidak bisa, ketika tangan dan kakiku diikatkan ke besi lingkaran dengan tali yang dimantrai. Mau aku bergerak segesit dan sekuat apapun, tali aneh ini mencengkeramku lebih kuat lagi.

Inere laki-laki tadi meraih pinggangku, merengkuhku seakan aku memang adiknya.

"Tidak ..." Suaraku bergetar.

"Kau tidak bisa bernapas tanpaku, bukan begitu?" Jemarinya terasa dingin di atas kulitku, tapi rengkuhannya terasa hangat. Kak, benarkah ini kau?

"Kakak?" panggilku, menyerah dengan kenyataan bahwa seharusnya orang ini sudah tewas.

"Kenapa kau masih hidup?" bisiknya di telingaku.

"H-huh?" Aku terbata. "Maksudmu?"

"Kenapa aku yang mati dan kau yang hidup?"

Kalau aku tahu jawabannya, sudah pasti dadaku tidak sesakit ini, Kak. Kenapa harus kau yang mati dan aku yang hidup? Aku juga bertanya-tanya. Bertahun-tahun aku mencari jawabannya. Namun tak peduli ke manapun aku berlari, pertanyaan itu tidak selesai.

"Kau semakin kuat sekarang," katanya, entah mencibir atau memuji.

"Kau jadi kuat justru setelah aku mati," lanjutnya tajam.

Aku merasa disalahkan.

Dan belum sempat aku menyadarkan diriku sendiri, sosok itu menghilang bak asap yang membumbung ke langit-langit.

"Kak?" panggilku.

"KAK!" Aku berseru. "Tidak ... TIDAK! Ini salahku ... ini salahku." Tangisku pun pecah.

Aku tahu pagi sudah tiba karena dari tempatku di sekap, ada kayu-kayu yang tak terpasang rapat. Dari celahnya, menembus berkas-berkas cahaya fajar.

Aku terjaga seperti seharusnya. Seperti memang tidak boleh terlelap.

Karena saat menutup mata, yang kulihat hanyalah warna merah.

Kau tahu kau tidak bisa hidup tanpaku, 'kan?

Kalimat itu terdengar lagi bahkan di hari-hari berikutnya.

Aku adalah seorang Inere yang harus sesekali mengonsumsi darah segar, tapi sejak beberapa tahun yang lalu aku tidak bisa meminumnya dengan tenang.

"Katakan bahwa kau membenciku, Narra."

Sosok itu dating lagi setelah matahari terbit untuk yang ke—entahlah aku hilang hitungan.

"Katakan bahwa kau membenciku," Dia mendesis, suaranya makin jelas karena dia lebih dekat.

Tak seperti saat itu yang bentuknya siluet, kali ini sosok itu berbentuk asap. Asap abstrak yang seperti, seperti terakhir kali dia menghilang. Suara yang muncul menggema tapi tak bisa kutemukan sumbernya.

Aku menggeleng dengan lemah. Tidak, aku tidak membenci siapapun kecuali diriku sendiri.

"Kau harus membenciku agar lebih kuat lagi, Narra." Apa aku sedang disemangati atau dia hanya menjadi sarkastik?

"Katakan kau tidak ingin aku muncul lagi," katanya.

Aku ingin, aku ingin kau muncul lagi. Sejujurnya, aku ingin kau hidup lagi, Kak. Aku ini lemah, aku tidak kuat. Aku butuh kau.

Aku butuh sosokmu.

"Tak bisa?" tanyanya.

Aku menggeleng lagi.

"Tidak," lirihku.

"Kau tahu menyimpan ingatan tentangku adalah satu kelemahan terbesarmu." Ia berkata.

Kemudian suaranya jadi bersahutan. Semuanya terdengar menyahut bersamaan di telingaku. Aku tidak tahu mana yang aku harus dengar. Aku tidak tahu mana yang benar suaranya.

"Kau tahu bahwa kau harus melupakanku."

"Kau tahu bahwa kau harus membuangku."

"Kita memang sudah seharusnya terpisah."

"Narra, kau memang seharusnya pergi."

"Aku memang seharusnya pergi."

"Narra—"

"Narra, lepaskan dirimu sendiri."

Kemudian entah dari mana kekuatan itu datang, aku menjerit kencang. "TIDAK BISA! AKU TIDAK BISA LARI!"

Sekilas, ruangan berubah jadi warna merah, mengusir kepulan asap dan suara-suara yang bersahutan.

Aku menangkap sesuatu yang bukan berkas cahaya matahari. Aku tahu hari sudah malam dan bulan sudah mulai terjaga, sama denganku. Akan tetapi dari posisiku saat ini dapat kulihat sepasang mata yang mengilat bulat, mengawasiku dari balik kaca.

"Oh," sadarku. "Itu aku."

Lonjakan kekuatan yang barusan membuat badanku melemah. Darah juga belum kuminum sama sekali, dapat energi dari mana aku? Mataku berat, telinga dan ekor rubahku juga sudah terkulai.

Namun lagi-lagi, aku terjaga sampai pagi.

Namun lagi-lagi, saat aku menutup mata, yang kulihat hanyalah warna merah.

Kau tahu kau tidak bisa hidup tanpaku.

Yang kali ini, kalimatnya datang dari cerminanku.

Kemudian tekanan kuat kurasakan di seluruh badan saat ia berkata lagi,

Buang semuanya. Lepaskan dirimu sendiri.

N.

Surat itu berhenti sampai di situ. Kami para pembaca tak tahu kelanjutan soal Inere tersebut.

Dan anehnya, saat kucari lagi, tulisan di koran itu menghilang. Kertasnya menjadi sebuah lembaran kosong.

Cerita anonim tentang Inere itu menjadi sebuah urban legend di Veros karena tidak ada yang tahu apakah itu fiktif atau kenyataan. Konon, Red Lights Project adalah satu proyek yang dilakukan peneliti Amberstar untuk memproyeksikan mimpi dan masa lalu yang paling buruk agar kekuatan dan posesi diri dari para Inere (dan makhluk lain) dapat keluar secara maksimal.

Namun sekali lagi, tidak ada yang tahu apakah itu fiktif atau kenyataan.

Masesion Speculative G. Challenge 2021Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang