Sederhana

18 6 0
                                    

Seorang pemuda bermata heterokromia merah-biru berdiri di tengah-tengah reruntuhan bangunan dengan wajah yang sendu. Salju putih sudah menutupi sebagian rambutnya yang berwarna hitam, menandakan dirinya sudah berdiri cukup lama di sana. Pemuda itu menatap salah satu puing yang ada di hadapannya. Tempat dimana dia berdiri sekarang adalah tempat dia melihat orang yang menyayanginya meninggal, saat dia berusia 6 tahun.

Malam itu, ledakan yang sangat besar membuat semua hancur. Tangan wanita itu yang biasanya bersih kini penuh darah. Dia dapat merasakan kedua tangan wanita itu memegang kedua pipinya. Mata merah yang menyala di hadapannya menatap lekat ke arah dirinya. Tidak tahu apa yang terjadi kepada dirinya, namun dia merasa kesadarannya ditarik secara paksa.

Saat dia membuka matanya kembali, dia dapat melihat tubuhnya sendiri berada dalam dekapan wanita tersebut. Akan tetapi, dari belakang wanita itu sebuah gerakan yang cepat memberikan luka yang dalam pada punggungnya. Mereka tersungkur di tanah. Dia melihat bagaimana tubuhnya sendiri diangkat oleh makhluk yang memberikan serangan tersebut kemudian dilemparkan kembali.

"Sial!" Makhluk yang bertubuh seperti manusia namun berkuku panjang itu menggerutu marah. "Anak itu sudah mati. Ia tidak bernyawa." Makhluk itu berbalik ke arah rekan-rekan yang memiliki fisik serupa.

Dia yang tertegun melihat hal itu berusaha untuk menguasai dirinya dan menghampiri tubuhnya.

"Xavier." Suara lemah memanggilnya.

Xavier berbalik dan mendapati wanita itu membuka matanya dengan susah payah. Darah merah menyelimuti tubuh wanita itu. Bahkan salju di dekatnya terpoles sempurna menjadi merah. Dia berlari menuju ke arah wanita itu. Ia dapat merasakan dirinya terkoyak akan kesedihan dan ketakutan.

"Wanita ini masih hidup?" Makhluk yang melempar dirinya kali ini mencengkeram leher wanita itu dan diangkatnya dengan tinggi. Hingga membuat wanita itu kesulitan untuk bernapas.

Wanita itu menatap ke arah Xavier, bukan ke arah tubuhnya yang tersungkur, melainkan benar-benar ke arah dirinya berdiri sekarang. "Xav...vier," Dia berusaha mengeluarkan suaranya, "Hiduplah."

Ketika makhluk yang mencengkeram dirinya akan menyerang dengan kukunya yang tajam, mata merah wanita itu menyala. Makhluk itu melepaskan cengkeramannya. Dia bersama dengan antek-anteknya terpaku melihat mata yang serupa darah itu.

Wanita itu menggerakkan tangannya dan menyayat lehernya sendiri dari kiri ke kanan. Begitu pula dengan makhluk berkuku tajam itu melakukan hal yang sama. Namun, makhluk itu bukan menyayat leher mereka melainkan menebas lehernya dengan kukunya yang tajam. Semua tubuh pun roboh pada malam yang mengerikan itu.

Xavier menghampiri wanita itu. Dia sudah tidak bernapas. Dia sudah tidak bernyawa. Dia sudah mati.

Xavier jatuh terduduk setelah kejadian tersebut secara berulang terputar dalam ingatannya seperti rekaman video yang rusak. Tubuhnya roboh menghantam tumpukan salju. Tenaganya habis setelah membuka pintu trauma salju merah tersebut.

"Lebih baik aku mati." Ucapnya parau.

Xavier sudah merasa tidak berguna. Dia merasa bahwa kematian ibunya adalah kesalahannya. Makhluk itu datang untuk mencari dirinya hidup-hidup. Namun ibunya melindunginya dan membunuh seluruh makhluk itu hingga napas terakhirnya.

"Sebenarnya kau takut bahwa ibumu membencimu, bukan?" sebuah suara mengagetkan saraf pendengarannya.

Saat dia tersadar dari lamunannya, sudah banyak salju hitam yang turun di sekelilingnya. Namun, salju itu turun tidak mencapai dataran. Salju hitam itu sudah lenyap menjadi kabut hitam keabu-abuan yang membelai setiap saraf sensoriknya. Xavier yakin kabut itulah yang bersuara.

Masesion Speculative G. Challenge 2021Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang