"Asa! Asa!"
Bunyi pagar yang digoyang-goyangkan oleh Ajun bukan main berisiknya. Namun, sang pemilik rumah nampaknya tidak terganggu. Sudah sepuluh kali Ajun memanggil Asa di tengah panasnya sinar matahari pukul 1 siang.
"Masa dia tidur siang?" Ajun masih bermonolog, karena berdiri membuatnya lelah akhirnya dia memilih ngaso kayak gembel. Memeluk mainan monopoli yang baru dibelikan oleh Ibunya dari pasar pagi tadi.
Sampai satu mobil Mercedes Benz memberi klakson, Ajun mendongak mendapati presensi si anak sultan ---Mahesa---
"Ajun! Kamu ngapain ngemper di depan rumah Asa?"
"Mau ajak dia main ini." Ia menunjukkan permainan yang berada di dalam genggaman tangannya dengan raut wajah lelah. Keringat sebesar biji jagung mulai menetes dari kening menyusuri pipi lalu jatuh tepat di bawah rahang. "Kamu mau les?"
"Iya, soalnya hari ini penentuan aku masuk lomba atau engga."
Ajun mengangguk saja, terkesan bodo amat sebenarnya.
"Kamu ikut lomba rap lagi?
Iya, lagi. Soalnya ini bukan pertama kali Mahesa ikut battle rap di tempat lesnya. "Iya dong! Do'ain menang ya, nanti aku bawa kamu sama yang lain makan sepuasnya di keepsi."
"Bohong ah! Terakhir kamu ikut lomba, bukannya bawa kita ke keepsi malah nangis-nangis karena lidahmu kepeleset waktu nge-rap."
"Ih mana ada!" Mahesa mendengkus dan memutar bola mata sebal. "Udah ah, ngobrol sama kamu cuma bikin emosi. Dasar jahat!"
Kaca jendela tertutup, dan mobil tersebut pergi meninggalkan Ajun yang berdecak sebal.
"Kalau sampe hitungan 10 Asa nggak ada, aku pulang aja deh."
Ajun mulai berhitung ....
1 ....
2 ....
3 ....
4 ....
5 ....
6 ....
7 ....
"Ajun!"
Belum tuntas Ajun berhitung, teriakan seseorang mencuri atensinya. Aish, Ajun sedang tidak mau bertemu Cio.
"Apa kamu manggil-manggil aku?! Lupa, kalo kita musuhan?"
"Memangnya iya? Sejak kapan?"
Ajun tidak menjawab, memilih menendang batu sampai mengenai betis Cio. "Sakit, tahu! Aku bilang Mami lho."
"Kamu pikir aku peduli? Nggak, ya sorry!" Tangannya mengibas di depan wajah Cio, bikin yang punya wajah mundur beberapa langkah.
"Apa yang membuat kamu marah sama aku?"
"Banyak! Perampok, kamu!"
Jadi begini ceritanya, Ajun itu 'kan sosok yang sangat-sangat-sangat mencintai coklat juga sejenisnya. Dia baru dikirim cokelat Belgia sama Kakak sepupunya, dan Cio memang anaknya pecinta hewan garis keras. Sewaktu main itu, Cio lihat ada seekor kucing yang lewat di depan rumah Ajun. Kepalanya celingak-celinguk kayak cari sesuatu.
Dia dengan segala tingkah sok tahunya, juga sok pahlawannya menerka bahwa kucing tersebut tengah kelaparan. Maka, hati mulianya tergerak mencari sesuatu yang bisa diberikan pada si kucing. Ketemulah itu satu-satunya makanan --Coklat-- yang masuk akal menurut Cio. Karena isi kulkas Ajun waktu itu memang hanya berisi tauge dan tahu.
Ajun yang habis buang hajat, mengernyit heran melihat pintu kulkasnya terbuka sedikit. "Ini kenapa kebuka gini, ya?" katanya sambil mengenakan celana dalam.
Sampai ... Matanya menangkap sesuatu yang janggal.
"COKLAT AJUN DIMALING, TOLONG! ADA PENCURI!"
Senyap.
Ayah-Bunda sedang tidak ada di rumah. Hanya Cio yang bisa dimintai bantuan oleh Ajun sekarang. Buru-buru Ajun mengenakan celana dalamnya dan menghampiri Cio di depan. Namun, impulsif matanya melotot juga langsung pingin nangis.
"CIO, ITU 'KAN COKLAT MAHAL. KENAPA DIKASIH SAMA KUCING GARONG?"
Cio nggak tahu apa-apa, dia hanya melongo menyaksikan Ajun yang mulai meraung tanpa celana? Otaknya masih memproses hal apakah yang membuat Ajun kini menangis histeris.
"Kucingnya kelihatan lapar, Ajun. Nanti jika meninggal, kasihan."
"BERISIK KAMU! HUAAA BUNDA, COBAAN HIDUP AJUN KENAPA BERAT BANGET."
Ya, begitulah drama antara Ajun-Cio. Di mana kejadian itu membuat Ajun sebal sekali ketika dirinya mendapati sosok Cio berkeliaran di sekitarnya.
"Kamu nggak mau pindah komplek aja?"
"Tidak mau. Cio nyaman berteman dengan kalian."
Ajun masih mempertahankan raut bengisnya. Walaupun, dia sama sekali tidak berbakat untuk memasang tampang seorang antagonis. Pipinya menggembung, giginya bergemelatuk pelan.
"Tapi aku nggak suka temenan sama kamu. Hush, hush, aku sekarang cuma mau main sama Asa! A S A! ASA!"
Dia mulai ingat tujuan awalnya, kembali berteriak heboh seperti pertama kedatangannya ke sini. Suaranya sudah cocok menjadi suporter bola di GBK.
"ASA, MAIN YUK!"
"Tidak baik, lho berteriak di rumah orang."
"Bodo amat, wlee." Ajun memelet dan kembali sibuk menggoyang-goyangkan pagar rumah Asa.
Beberapa detik pintu utama akhirnya terbuka, menampilkan sosok Asa yang sedikit berantakan dengan tangan sibuk menghapus iler di pipinya. "Asa lagi nggak mau main, Ajun! Sandal Asa kemarin ilang diumpetin Dobby."
"Ini sandalnya berdua aja sama aku."
Mata Asa yang tadinya masih terkantuk-kantuk, sontak terbuka secerah masa depan.
"Memangnya bisa, ya?"
"Diam kamu perampok! Buat Asa apa sih yang nggak bisa."
Asa berjalan menghampiri Ajun dan Cio tanpa membuka gerbang. Meneliti sandal Ajun yang bergambar Ben10. "Kalau digabung, kaki kita jadi empat tapi sandalnya ada satu pasang, Ajun."
"Terus?"
"Lho, kok balik nanya?"
Ajun garuk belakang kepala. "Yaudah deh, minjem aja sandalnya Cio."
"Tidak boleh! Nanti kaki Cio kepanasan."
"Cih, perampok pelit!"
"Berhenti panggil aku perampok, menyebalkan tahu."
"Memangnya kamu nggak menyebalkan di mataku gitu?"
"Tidak!"
Ajun yang sedari tadi sudah mencoba meredam emosi, mendengar jawaban Cio yang terkesan menantang membuatnya tidak segan menjambak rambut Cio. Mereka berdua berguling-guling di atas aspal panas jalanan komplek.
Asa sih nggak peduli, dia lebih tertarik dengan mainan yang Ajun bawa. Sambil menikmati drama di depannya, Asa mulai membaca peraturan permainan monopoli tersebut. Menghitung jumlah uang, dan mengocok dadu. Tidak menghiraukan tangisan, jeritan, juga permintaan tolong dua bocah yang sedang bergulat di depannya.
Mereka memang terlahir merepotkan, dan Asa tidak suka direpotkan orang lain.
---
ngga ada pesan apa-apa. semoga kalian enjoy bacanya.
