Welcome to my story
I hope you enjoy read this chap!"Sungguh aku tak ingin, hatimu jadi milik yang lainnya. Ku bersumpah kau sosok yang tak mungkin, ku temukan, lagi."
-Rossa
🎧jangan hilangkan dia-
-
--
-
-
Langit yang semula cerah, perlahan memudar menjadi gelap. Semilir angin dari arah barat, menjadi penanda bahwa sang bagaskara siap menumpahkan varsha untuk sang bumantara. Tak terbendung rasa antusias langit, rintik-rintik mulai berjatuhan. Semakin lama, semakin deras, mampu membasahi kota Jakarta pada pagi hari ini. Peristiwa tersebut dinamakan, hujan.Aroma tanah dan rumput yang basah menguar, menenangkan indra penciuman. Hujan turun dengan tenang, tanpa gemuruh serta kilatan petir, seolah turunnya hujan pagi ini adalah pesan, atas rasa rindu air terhadap tanah, dan langit bagaikan perantara untuk menyatukan mereka.
"Seperti yang sudah kita ketahui sebelumnya. Bahwa, hujan itu turun karena penguapan air yang berada di laut atau di darat sebab panasnya sinar matahari. Penguapan itu disebut, 'evaporasi'. Kemudian Penguapan itu pun membentuk suatu kumpulan karena tingginya suhu udara di atmosfer, sehingga kumpulan itu yang kita lihat sebagai awan, proses tersebut dinamakan, 'kondensasi'. Ketika awan telah menjadi sangat berat, awan tak dapat lagi menampung air. Maka, perlahan air di awan mencair dan jatuh ke daratan. Tahapan ini dikenal dengan istilah presipitasi, yaitu peristiwa pencairan awan menjadi butiran air. Butiran air dari awan yang jatuh ke daratan disebut sebagai, hujan. Sampai sini ada yang ingin ditanyakan?" Penjelasan sang guru berakhir dengan pertanyaan, netranya melihat sekeliling. Menatap anak muridnya satu-persatu, hingga obsidiannya menemukan tangan mungil yang terangkat.
"Iya, ada yang ditanyakan, Asraf?" tanya sang guru dengan tangan yang bergerak sesuai bahasa isyarat.
"Tapi aku benci hujan, Bu. Hujan jahat! karena hujan, aku kecelakaan dan menjadi tuli,"
Si guru baik hati itu tersenyum teduh saat memahami bahasa isyarat yang digunakan Asraf. Dia pun mendekat, menghampiri tempat duduk Asraf. Ketika sampai di hadapannya. Tangannya terangkat guna mengusap lembut kepala anak laki-laki berusia 7 tahun itu.
"Hujan tidak jahat Asraf. Tapi takdir punya rencana baik yang mungkin saat ini belum Asraf mengerti. Yang tabah, ya, Nak? Semoga takdir ini tak lagi jadi alasan kamu untuk membenci hujan," ucap sang Guru dengan tangan yang lihai dalam membuat bahasa isyarat, sehingga Asraf memahami ucapannya.
"Untuk kalian semua. Bukan takdir yang jahat, tapi kita yang belum terima. Terkadang kita merasa hidup tidak adil, padahal diri kita yang kurang bersyukur." Perkataan itu menjadi penutup pembelajaran hari ini.
Perempuan dengan rambut hitam selegam malam, yang dibiarkan terurai indah itu, membereskan buku-bukunya. Jemarinya berhenti pada buku harian yang terlihat sudah tua. Buku harian yang selalu dia bawa. Mengelusnya perlahan, membuat otaknya terpaksa terlempar ke masa lalu.
Nyatanya di bumi yang seluas ini, aku masih mencari kamu.
Pada ribuan manusia baru yang ku jumpai, masih kamu yang aku tunggu.
Kamu dan segala pemahaman mu, masih menjadi yang teristimewa.
Dimana cintaku, tidak hanya habis dihari itu, tapi juga untuk hari-hari berikutnya, bahkan selamanya.
Terima kasih untuk kalian yang menyempatkan waktu untuk membaca cerita ini.
Kenalin! Ini cerita pertama aku! Jadi aku mohon dukungannya untuk kalian semua, untuk vote and comment!
KAMU SEDANG MEMBACA
Monokrom
Teen Fiction[WARNING⚠️ CERITA INI MENGANDUNG BAHASA KASAR! DIHARAPKAN UNTUK BIJAK DALAM MEMBACA!] Monokrom, dia adalah warna yang membingungkan. Terlalu abu-abu untuk dipahami, dan terlalu rumit untuk dimengerti. Sama seperti Camelia Andrea Alatas, perempuan k...