| 1 |

233 49 11
                                    

Lirandra menatap lurus target di depannya, senyumnya mengembang begitu pelurunya tepat mengenai lingkaran hitam pada papan kayu sejauh dua puluh meter itu. Gadis itu menoleh ke samping kanannya, mengamati lawannya yang juga memperoleh hasil yang sama.

Mata keduanya bertemu, membuat Lirandra otomatis memalingkan wajah, memutus tatapan mereka. Gadis itu mendengkus keras, bila sekarang tidak sedang penempuhan, ia ingin sekali meninju sorot dingin yang baru bertatap dengannya itu. Dasar sok keren!

Malam ini hembusan angin terasa lebih kencang dari hari-hari sebelumnya. Hari terakhir yang terasa makin mendebarkan.

Tak membiarkan konsentrasinya bubar, Lirandra kembali memusatkan atensinya pada papan kayu yang kini telah berubah jarak menjadi empat puluh lima meter. Gadis itu mengisi peluru, lalu menegakkan punggung dan bersiap menembak.

Tepat sasaran!

Lengkungan bibir gadis itu kembali terlukis, tapi tak bertahan lama. Hampir bersamaan, lagi-lagi peluru rivalnya juga tepat mengenai sasarannya.

Waktu kian larut, lokasi di tengah hutan membuat udara semakin dingin seakan bisa membekukan dalam hitungan menit. Tantangan demi tantangan Lirandra lewati tanpa hambatan. Kini satu tantangan terakhir di ronde ini yang harus ia selesaikan.

Kendati bukan pertama kalinya, namun tiga hari berturut-turut tanpa istirahat membuat seluruh tubuhnya pegal. Lirandra lalu melepas kuncir rambutnya dan mengucirnya kembali dengan lebih rapi. Tanpa sengaja matanya menangkap sosok tinggi yang tengah berdiri tak jauh dari pohon di depannya.

Seperti refleks, ia menoleh, memandang lagi seorang di sampingnya. Mendapati sorot dingin itu ternyata menatap tajam ke arahnya sontak membuatnya mendelik. What the hell is sheno! Ini bukan saatnya mikirin itu, untung saja logikanya masih bekerja dengan baik.

Gadis itu menajamkan mata, lantas mengangkat busur dan menarik anak panah ke arah target bergerak di depannya. Gelapnya malam yang hanya diterangi lampu kecil yang terpasang di setiap pohon membuatnya ekstra berhati-hati. Ditambah gerak angin yang berlawanan dengan arahnya memanah.

Dirasa tepat, Lirandra menutup salah satu matanya dan langsung melepas anak panah. Lengkungan bibirnya kembali membentuk senyuman tipis melihat targetnya tercapai. Tak mau membuat waktu, ia mengambil dua anak panah dan melepasnya bersamaan. Seperti sebelum-sebelumnya, Lirandra menyelesaikan penempuhannya tanpa kesulitas meski lagi-lagi harus berlapang dada sebab mendapat nilai seri dengan rivalnya.

Berikutnya, ronde dan tantangan terakhir. Lirandra memandang satu per satu tujuh orang yang akan menjadi lawannya. Tiga di antaranya perempuan, sisanya laki-laki. Ketujuh orang itu adalah para terlatih yang dipilih dan memiliki kemampuan setara dengannya.

"You have to attact me seriously." Peringat gadis itu pada dua orang yang merupakan kawan satu timnya.

"Sure, lagian udah lama gue pengen nonjok muka songong lo."

Bukannya kesal, Lirandra justru tertawa mendengar balasan tanpa sungkan dan penuh semangat itu. Setidaknya percakapan singkat ini cukup untuk mencairkan suasana. "Then you must fight me with all your might."

Ia memiliki waktu enam puluh menit untuk menumbangkan mereka. Begitu timer dinyalakan, Lirandra segera maju dan memulai pertarungan. Gerakan gadis itu cepat, terlihat lepas dan tanpa beban. Lirandra seperti melakukan kesehariannya, bukan bertarung. Tiga perempuan berhasil ia kalahkan dalam waktu lima belas menit. Gadis itu menetralkan napasnya sebelum kembali menyerang. Melawan orang-orang yang sebanding dengannya cukup menguras tenaga.

Lirandra tak memiliki banyak waktu. Satu hantaman keras melayang ke paha salah satu lawannya hingga ambruk ke samping, dan sebelum kembali bangkit, ia mendendang keras punggung pemuda itu hingga menabrak pohon.

FiksasiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang