| 3 |

133 40 16
                                    

A/n : selamat membaca 🌻
Jangan lupa tinggalkan jejak 💜

...

Lirandra melipat tangan di depan dada dengan ekspresi dongkol bukan main. Memang harusnya ia tak perlu meladeni ucapan Langit. Belum ada lima menit, ia harus membatalkan timnya datang lantaran tim Kinar sudah lebih dulu siaga.

Tugas tim mereka memang berbeda. Dan kejadian semacam ini memang dilimpahkan pada Kinar, tim mereka bisa lebih sigap dan cekatan untuk yang satu ini, sementara timnya tetap akan bekerja sesuai tugasnya.

Ponsel Lirandra bergetar, gadis itu mundur dan menjauh sebelum mengangkat telepon. "Kenapa, Bim?"

"Lo ke markas sekarang, ada yang mau gue tunjukkin."

"Nggak bisa lewat telepon aja?"

"Bisa, tapi resiko. Gue nggak mau dapat masalah."

Lirandra mengernyit sesaat, tampak berpikir. "Oke, gue ke sana."

Sambungan telepon terputus. Lirandra kembali menyimpan ponsel seraya mendekati Langit. Dalam jarak yang masih cukup jauh ia berkata, "Gue mau balik dulu. Ini penting. Izinin ke kelas atau apa terserah." Meski sebenarnya itu tidak penting baginya, tapi Langit yang akan banyak protes nantinya.

"Emangnya ada apa?"

"Nggak tau, Bima tiba-tiba manggil. Nggak bisa diomongin di luar, katanya. Ini gue mau ke sana." Lirandra pikir, mungkin sesuatu yang penting. Suara Bima juga terdengar cukup serius.

Langit memperhatikan sekitar sebelum memberi persetujuan. Sepertinya sudah aman dan tidak akan ada serangan lagi. Tim Kinar juga lebih dari cukup untuk membereskan kerusuhan kecil ini. "Oke. Lo boleh pergi."

Lirandra sudah hampir melangkah jauh, tapi tiba-tiba gadis itu berbalik. "Oh, iya." Ia mendekat pada Langit. "Lebih baik lo jangan jauh-jauh dari Kinar kalau nggak mau hampir mati lagi."

"Tumben." Langit memandang heran, ia bahkan memutar badan agar menghadap Lirandra. "Biasanya lo paling anti kalau gue deket-deket sama Kinar."

Gadis itu berdecak malas. "Saran aja sih sebenernya. Umur nggak ada yang tau. Siapa tau pas gue pergi tiba-tiba ada yang nembak terus nyawa lo melayang."

"Dan lo bakal sedih."

"Bacot."

Langit terkekeh singkat, nyaris maju agar lebih dekat dengan Lirandra, tapi gadis itu lebih dulu berlari menjauh. Ia pun kembali fokus mengurus dan mengamankan kejadian ini agar tak sampai terdengar siapa pun.

...

Lirandra keluar sekolah tanpa repot membawa tas yang sebenarnya tidak ada isinya. Lantaran gerbang masih ditutup dan satpam sepertinya sedang membantu Langit, terpaksa ia harus lompat pagar. Gadis itu menghubungi Jonathan untuk ke markas bersama. Sedangkan Fanessa tetap di sekolah untuk menggantikannya mengurus beberapa hal.

Jonathan tiba tak lama kemudian. Pemuda itu memberikan helm dan jaket padanya. "Yang lain masih siaga, 'kan?" Lirandra menoleh ke belakang. Memperhatikan sekali lagi bahwa keadaan sudah benar-benar aman. Padahal ini hanya kejadian kecil, tapi akan sangat berpengaruh pada posisinya. Ia tak mau kecolongan.

"Masih. Katanya aman. Mereka bisa handle kalau ada apa-apa."

Lirandra memakai helm dan jaketnya. "Ini yang bonceng lo atau gue?"

"Gue aja."

Gadis itu langsung naik. Motor melaju dengan kecepatan sedang. Lokasi markas mereka tidak terlalu jauh dari sekolah. Tempatnya juga strategis dan berada di dekat pusat kota, yang salah satu antisipasinya bermaksud agar tidak menimbulkan kecurigaan. Bila musuh ingin membuat keributan pun harus menyiapkan rencana matang-matang sebab sejauh dua ratus meter ada kantor polisi-yang sudah jelas akan memihak Cakrabuana.

FiksasiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang