REMEDY | TIKET JERMAN

21 8 6
                                    

Malam ini adalah malam yang cukup dingin dengan tiadanya bintang di langit. Sayupan angin yang mampu membuat bulu tangan seorang cowok meremang.

Sambil duduk di Balkon, cowok itu terus menatap awan gelap dengan ditemani rokok dan juga kopi. Entah sedang melamunkan apa. Tatapannya begitu rindu akan seseorang, tatapannya pula begitu teduh dan seperti kebingungan entah harus berbuat apa.

Tiba-tiba saja ia tersenyum getir. "Jun.. andai lo di sini. Ini semua gak akan semakin rumit. Gak ada Aya yang dari awal memilih ke luar negeri demi menghilangkan bayang-bayang lo. Gak ada yang namanya rasa semakin sayang serta berharap banyak di hati gue. Lo bisa jadi rem rasa gue, Jun."

Cowok itu memejamkan mata untuk beberapa saat. Ia menghirup udara banyak-banyak. Merasakan kegetaran hati yang ingin melemas.

Tiba-tiba saja ia menitikkan air mata. Banyak rasa cemas yang langsung hinggap di hati dan pikirannya. Ia menggeleng keras. "Enggak! Lo gak boleh pergi, Ay! Gak boleh! Cukup bertahun-tahun hidup gue tanpa lo! Cukup, Ay! Cukup!" teriaknya sembari memukuli dadanya yang mulai sakit.

Ia membuang napas kasar beberapa kali, tetapi rasa sakitnya terus saja hinggap. Kepalanya mulai terasa berat dan sakit. Ia menangis. Dengan cepat ia masuk ke dalam kamarnya dan mengambil beberapa obat dari dalam laci.

Tanpa melihat berapa tablet yang diambil, ia segera memasukkannya ke dalam mulut begitu saja dan meneguknya berbarengan dengan air putih.

Ia menghela napas pelan untuk menetralkan detak jantungnya yang sedikit membaik. Namun, bayang-bayang Aya akan meninggalkannya masih terus hinggap. Bayang-bayang ia akan kembali menahan rindu untuk beberapa tahun. Bayang-bayang ia dan Arjuna yang selalu saling rangkul. Itu semua memusingkan dan menyedihkan!

Pada akhirnya, ia tidak bisa menahan diri lagi. Diambilnya pisau kecil. Tanpa berpikir panjang, ia segera mengarahkannya pada telapak tangan. Merasakan rasa sakit dan aliran darah yang begitu menenangkan. Ia duduk di ranjang dan bersender. Terus memejamkan mata dan terus menggores telapak tangannya.

Drrt... drrt...

Dihentikan aksinya saat mendengar suara telepon berdering. Ia lemas sekarang. Dibiarkan darahnya yang terus mengalir tanpa henti itu dan beralih mengambil ponselnya.

Cowok itu tersenyum saat melihat nama yang tertera di ponselnya.

Mine♡

"Aya nelepon di waktu yang tepat." Segera saja cowok itu memencet terima panggilan dan menempelkannya di telinga.

"Halo, Gil?"

Terdengar suara ramah dari arah sana.

Ya, cowok itu adalah Gilang. Ia tersenyum lebar sekarang. Memang, hanya Aya-lah yang pantas menjadi obatnya. Menjadi Remedy-nya.

"Halo, Ay? Tumben jam 11 malem lo belum tidur."

Terdengar suara Aya yang terkekeh.

"Entahlah. Ada pikiran yang mengganjal gue aja. Ada rasa berat untuk gue pergi besok."

Gilang tersenyum miris. "Makannya, kalau gue bilang di sini, di sini aja, Ay. 'Kan banyak Kampus yang bagus di negara sendiri."

Aya terdengar menggumam.

"Iya sih. Tapi sayang aja, Jun. Eh.. maaf. Maksud gue Gilang."

Suara Aya terdengar makin melemas. Lambat laun terdengar seperti isakan.

"Ay? Lo gak apa-apa?" tanya Gilang khawatir. Cowok itu bahkan sampai menegakkan tubuhnya.

"Gue gak apa-apa kok, Gil. Gue... cuma kangen Juna."

REMEDYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang