REMEDY | SEPOTONG INGATAN

25 8 21
                                    

Aya memasuki kamarnya setelah Gilang berpamitan pergi. Jujur saja, luka di tangan cowok itu membuat dirinya bertanya-tanya. Di satu sisi, dia merasa tidak mungkin bahwa Gilang berbohong pada dirinya. Tetapi di sisi lain, itu adalah hal yang sulit dipercaya.

Gadis itu menatap sekeliling kamarnya. Banyak sekali foto dirinya dengan Arjuna. Ya, hanya ada foto mereka berdua dan juga foto keluarganya, bersama Altar tentunya. Sang papa kandung.

"Jun? Keputusan gue udah bener, 'kan?" tanyanya sambil menatap foto mereka berdua. "Juna... gue kangen. Bertahun-tahun lo ninggalin gue, masa iya gak ada niatan kembali? Bahkan sampai sekarang, gue masih gak mau buka hati gue untuk siapa-siapa. Se-sayang itu gue sama lo, Jun. Jujur, sampai sekarang bahkan gue masih benci sama diri gue yang telah membuat lo gak ada. Gue benci banget." Aya menghela napas berkali-kali. "Gue bertahan hidup, karena lo, Jun."

Seketika Aya teringat, di mana pertama kali ia bertemu Arjuna di sekolah. Momen itu, momen yang sangat jengkel menurut Aya, benar-benar menyebalkan. Namun, itu dulu. Sekarang, bahkan rasanya gadis itu ingin mengulang momen itu. Sangat ingin.

Aya berjalan cepat ke arah sekolah barunya. Berkali-kali gadis itu melirik jam tangannya, berkali-kali pula ia menggerutu kesal.

"Duh, Ya Allah, semoga aja belum ditutup gerbangnya." Aya semakin mempercepat jalannya, bahkan gadis itu sudah sedikit berlari.

Setelah beberapa menit, ia pun sampai di depan sekolahnya. Ia berdecak sebal. "Kan udah ditutup! Ini semua karena Papa yang omelin gue pagi-pagi sampai gak inget waktu! Mana hari pertama sekolah." Aya mengusap wajahnya. Ia berusaha tenang dan mencoba melirik sana-sini, siapa tahu ada orang yang ingin membantu.

Tak lama benar saja, ada seorang satpam yang berjalan ke arahnya. "Telat ya, Neng?"

Aya tersenyum kecut. "Enggak, Bang. Enggak telat."

"Loh? Tapi masih di luar? 'Kan udah bel dari tadi, Neng. Itu namanya telat."

Aya memutar mata. "Udah tahu telat, Pak. Ngapain nanya? Bantuin saya mau gak, Pak?"

"Bantuin apa?" Alis satpam itu menaut, menandakan kebingungan.

"Ya, tolong bukain gerbangnya. Izinin saya masuk, ini hari pertama saya, Pak." Aya memasang wajah se-melas mungkin.

"Imbalan buat Bapak apa, Neng?"

Gue kira cupu, ternyata suhu. Batin Aya menggerutu.

"Apa aja deh, Pak."

Satpam itu seperti berpikir sejenak. "Apa aja serius nih, Neng?"

"Iya, Pak. Cepet deh, nanti keburu ada guru dateng."

Satpam itu mengangkat jempolnya. "Oke, Bapak buka." Satpam yang bername-tag Bento itu pun langsung mengambil kunci gembok dari kantongnya.

Saat ingin membuka gemboknya, suara cowok terdengar keras dari arah belakang Pak Bento.

"Jangan bukain gerbangnya!"

Sontak Aya dan Pak Bento melihat seseorang itu.

Mata Aya langsung menatap sinis tak suka ke cowok berpakaian rapi itu.

"Siapa lo?" tanya Aya terdengar sengit.

Cowok itu maju ke hadapan Aya. Keduanya saling tatap dengan adanya gerbang yang menjulang tinggi di antaranya.

"Gue seorang murid yang gak suka melihat kecurangan."

Aya menatap sembari tersenyum miring. "Oh, ya? Lo lebih baik gak usah sok teladan teladan gitu deh. Kecurangan gue ini gak merugikan lo, 'kan?" Aya menatap objek lain sembari bersedekap dada.

REMEDYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang