Perempuan bersurai hitam lebat itu melangkah memasuki lingkungan sekolah barunya. Hari ini adalah hari pertamanya duduk di kelas sepuluh setelah menjalani seminggu masa pengenalan sekolah.
Sepanjang koridor, matanya melihat-lihat nama kelas yang terpampang di pintu masuk sambil mencari kelasnya berada. Terlepas dimana pun itu, ia hanya akan duduk di kursi dekat jendela agar ia dapat memalingkan matanya saat otak sudah lelah memahami materi.
Di dada kirinya terdapat sebuah papan nama yang bertuliskan Zenna Alya Sabrina duduk di kelas X IPA-03. Dengan namanya itu, ia bangga memasuki sekolah favorit ini, karena dari seribu peserta hanya 300 yang berhasil lulus.
Ketika Zenna tengah asik bersenandung kecil menyanyikan lagu jepang favoritnya, tangan kanannya tiba-tiba ditarik oleh seseorang yang tidak ia kenali dari belakang dan memaksa Zenna untuk ikut berlari dengannya.
Entah baru sadar ia salah orang atau memang ini tempatnya, orang yang menarik Zenna berhenti di taman sekolah yang hanya terdapat satu kelompok laki-laki yang tengah bercanda ria. Dengan kesal, Zenna menarik tangannya dari cengkraman itu yang membuat si penarik tersadar dan menoleh ke belakang.
"Are, omae Nila janai, (lho kamu bukan Nila)" kaget orang itu menggunakan bahasa yang sedikit Zenna tau.
Zenna berhasil mengetahui nama orang ini dari papan namanya. Niel, sangat singkat. Namun Niel duduk setingkat di atas Zenna, kelas sebelas yang mau tak mau Zenna harus hormati. Tapi apa kakak kelas yang dengan tidak sopan nya menarik tangannya ini pantas di hormati?
Zenna menghela napasnya. "Kak, kenapa kakak narik saya ya? Apa saya ada salah sama kakak?"
Orang yang bernama Niel itu menggaruk tengkuknya yang tak gatal dengan menunjukan deretan gigi putih rapinya. "Sebenernya, gue salah orang. Gue kira lo pacar gue, ternyata bukan."
Raut wajah Zenna berubah menjadi datar. Detik selanjutnya, bel masuk berbunyi. Senyuman yang sedikit di paksakan terbit dari bibir Zenna. Berkat orang di hadapannya ini, Zenna tidak dapat memasuki kelas di hari pertamanya.
Zenna menyibukkan diri dengan film animasi dari ponselnya yang tidak sempat ia tonton semalam. Setelah bel masuk tadi, Niel mengajaknya untuk berkumpul dengan teman-teman Niel sampai pacar Niel datang. Namun sudah satu jam setengah Zenna menunggu, pacar Niel tidak kunjung menampakkan batang hidungnya. Awalnya Zenna berniat pulang saja, tapi Niel berkata gerbang sekolah tidak bisa dibuka untuk siswa yang terlambat ataupun seperti mereka.
"Gue kira lo ga masuk karena izin, ternyata lo disini."
Sebuah suara mengalihkan pandangan semuanya, termasuk Zenna. Seorang pria berseragam sama dan kelas yang sama dengan Niel datang. Ia berjalan menuruni anak tangga menghampiri kumpulan itu. Zenna kembali menatap layar ponselnya.
Merasa asing dengan keberadaan Zenna diantara mereka. Manik pria itu melirik Zenna sebelum menatap Niel.
"Siapa?" tanyanya pelan. Ia tak ingin menyinggung Zenna.
Seakan mengerti, Niel dengan sigap memperkenalkan Zenna yang masih asyik menonton.
"Dia Zenna, kelas sepuluh. Gue salah bawa orang, gue kira Nila tadi."Pria di hadapan Niel itu menepuk jidatnya sambil menggeleng. Seolah kejadian ini bukan untuk pertama kalinya. Salahkan mata Niel yang tidak dapat melihat dengan jelas, namun Niel menolak memakai alat bantu kacamata dengan alasan merepotkan.
"Makanya pake kacamata!"
"Daripada itu Zenna." Niel sedikit menendang kaki Zenna agar memperhatikannya. Zenna menoleh lalu mematikan ponselnya dan berdiri di samping Niel.
KAMU SEDANG MEMBACA
SEPATU
Teen FictionKarena suatu ketidaksengajaan, Zenna bertemu Gabny, seorang kakak kelas yang memiliki kebiasaan yang sama dengannya. Zenna juga bertemu orang yang tau masa lalunya dan Niel yang termasuk jajaran orang aneh menurut Zenna. Pada akhirnya, mereka meraju...