Rintik Pertama

4 0 0
                                    

Lengkingan serangga musim panas saling bersahutan memenuhi udara diirngi gemricik air yang mengalir di sungai kecil sepanjang area persawahan. Suasana syahdu seperti ini selalu kurasakan kala aku melewati jalan ini. Pagi dan sore. Saat pagi aku akan banyak berpapasan dengan petani sayur dan saat sore hari, tanganku akan penuh dengan berbagai hasil panen.

Aku tidak membeli atau bahkan mencuri. Beberapa petani yang sering berpapasan dengankulah yang memberikannya. Dengan cuma - cuma.
Untuk makan malam kami katanya. Atau hanya sekedar bentuk dari ungkapan senang karena selalu ku sapa terlebih dahulu tiap pagi -kata mereka.

Sore ini, halte bus tua dengan tiang rambu kuning yang sedikit berkarat, kugantung kantong daur ulang ramah lingkungan berisi buah tangan yang ku dapat dari para petani tadi. Di bawahnya berdiri sebuah bangku kayu di mana aku duduk dan menyandarkan punggung, melepas engap. Di atas tempat duduk ini aku hampir setiap sore,berhenti hanya untuk sekedar menatap awan yang mengambang perlahan di langit jingga yang perlahan luntur berganti dengan jajaran konstelasi dari milyaran bintang di balik bukit sana. Ada kalanya sampai lupa waktu, seperti saat ini. Gawat !

Dengan tergesa aku menggeser gerbang dan segera membuka pintu belakang . Aku masuk ke dalam rumah dengan sedikit berlari, Sepatuku terlempar begitu saja. Momo, kucing gendut milikku hanya melirik sinis. Protes kesal karena terlambat mendapat kudapan sore.

" Umma.... Dapat selada, wortel, sama Bombay lagi Yay, Maa Bombaynya gedde ! Keliatan seger kayanya enak dibikin Burger. ya Umma, burger please ! "

Permohonan kecil untuk makan malam dariku setelah kucium berulang ulang pipi Umma. Iya, Umma adalah harta paling berhargaku di dunia ini.

" Fatma jangan lari di tangga Nak... Duh suaranya berisik itu lo, mandi sana ! Ya Rabb tak beri salam juga kau tadi masuk rumah ?! " Suara Umma sedikit lantang, tapi aku tau Umma tak sedang marah hihi.

Aku dan Umma selalu seperti ini, jika aku terlambat pulang Umma sudah paham alasannya. Karena senja, Karena langit, Karena kucing, Terkadang, sebelum aku minta maaf, Umma selalu menyebutkan alasannya dulu. Umma tak pernah marah, tak pernah mengeluh, selalu mengalah, dan aku sangat mengerti Umma itu tangguh. Hanya saja aku tahu satu rahasia Umma.

Juni hari pertama di setiap senjanya, Umma menangis. Namun, jika saat itu turun hujan, tangisan Umma tak lagi bersuara, ia diam, sorot matanya yang teduh menjadi terlalu teduh sampai terasa dingin, terlalu tenang seperti birunya dasar samudra. Gelap,Sunyi....tak bergejolak.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 07 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Hujan di Bulan JuniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang