What's This Life For

34 6 0
                                    

Jika ditanya, untuk apa kalian hidup?
Maka jawaban untuk kedua orang yang tak pernah bosan memandang danau buatan kecil dihadapan mereka adalah..
"Untuk merasakan semua rasa yang Tuhan berikan."

Pahit, manis, kecut, asin, benci, cinta, suka dan duka.
Dan semua rasa yang mungkin tak terdefinisikan, itulah jawaban mereka.

Dua insan yang disatukan karena luka dan penyesalan. Menghabiskan sebagian harinya hanya untuk menatap hamparan langit dan pemandangan di sekitarnya.

Mereka terlalu mendalami kegiatannya, sampai lupa tujuan awal mereka datang ke tempat itu untuk apa. They want freedom. Tapi kebebasan apa yang mereka mau?

...

"Anka... apakah kamu sudah merasakan penyesalan itu?" tanya sang puan.

"Entah..." jawab sang tuan.

"Nirankara.. rasanya aku sedikit menyesal."

Sang tuan mendengar jawaban dari mulut puannya, mengubah posisinya menjadi duduk tegap dan memfokuskan atensinya pada sang puan.

"Adhis... Secepat itu? Jangan dulu, ya?" Ucap sang tuan dengan suara yang sedikit gemetar.

"Kamu ini kenapa? Aku sudah hampir menyesal, tapi kamu larang. Aku ingin segera bebas, Anka..."

"Enggak, jangan dulu. Kamu harus tunggu aku."

"Menunggu kamu untuk apa? Jangan menungguku, Anka. Aku bahkan tak mau menunggu atau ditunggu."

"Tapi kita udah janji, Adhisree..ingat hari itu, kenapa kita bisa mengambil keputusan untuk sampai kesini?"

"Ingat.. bahkan aku sudah menepatinya,Anka. Kamu yang tak pernah menepati janji. Kamu hanya mengulur waktu, sampai kapan? Bahkan adikku saja sudah melewati harinya, tidak berhenti di waktu itu lagi."

"Bukan begitu, bukan aku mengulur waktu. Tapi tolong pikirkan yang lain, Adhis.. bukan cuma adik kamu, tapi jiwa yang lain belum siap untuk itu."

"Jiwa yg lain itu, kamu bisa jadikan alasan untuk memulai hari bukan?"

"Adhis.. please. Tunggu sebentar lagi ya?"

"Tiga bulan, kamu harus siap dengan waktu itu. Ajak dia kesini mulai besok, aku akan mengatakan bahwa semesta itu masih luas untuk diingat."

"Dhis..." suara putus asa sang tuan tak lagi di dengar oleh rungu puannya.

Sang puan hanya menjawab dengan seutas senyum yang teduh pada sosok sang tuan. Entah bagaimana, senyum itu terasa sangat teduh dirasa. Apakah ini sebuah lelucon untuk hidup sang tuan, pikirannya sungguh belum siap menerima semuanya.

Rasanya setiap asa dan doa yang ia panjatkan akhir-akhir ini, selalu tak bisa untuk di kabulkan Tuhan. Bahkan asa yang ia bangun bersama sang puan, harus di hapus oleh puannya sendiri.

Semua ambigu, ternyata akan berujung kelabu. Pikirnya.

Atensinya masih mematut raga yang mulai ringkih dan masih tersenyum padanya itu, entah bagaimana mengembalikan semua. Karena pada dasarnya sang puan pun sudah mengeluarkan banyak tenaganya.

"Aku akan bawa Eireen. Tiga bulan, atau mungkin jika Tuhan berkehendak bisa lebih, bukan?"

Sang puan tertawa halus mendengar penuturan sang tuannya. Lalu menjawab dengan tenang.

"Kamu bukan Tuhan, Anka.. bagaimana kamu bisa bilang 'bisa lebih', sedangkan kamu tahu jawabannya."

"Kamu juga bukan Tuhan, Adhisree. Kita hanya makhlukNya. Jika Tuhan sudah berkehendak, maka semuanya tidak bisa di ganggu gugat."

"Jangan terlalu berharap, Anka. Harapan kamu terlalu dilambungkan tinggi, jangan sampai kamu jatuh dalam keadaan hancur."

"Bahkan, semuanya sudah hancur. Sejak kita memutuskan untuk berada ditempat ini. Jadi biarkan saja harapan tinggiku itu. Biarkan aku berusaha sesuai harapanku."

〰️〰️〰️

My Missing Puzzle PieceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang