#8 Pipi Memerah

1 0 0
                                    

"Semoga belum ada," gumamku sembari berlari menaiki tangga ke lantai dua.

Untung saja Ardo yang ditunjuk menjadi ketua kelas. Kalau tidak, sekarang aku tidak akan tahu, jika Dosen masih masuk ke kelas.

Aku telah sampai di pintu ruangan. Syukurlah belum ada. Itu tandanya aku tidak terlambat, dan dimarahi Dosen kayak di film-film. Mungkin saja Dosen di sini juga galak.

Sementara Ardo duduk di dekat Sela, sekretaris cantiknya. Aku sudah merebahkan punggung di kursi pojok kelas, tak mau mengganggu mereka yang mungkin sedang kasmaran. Menurutku kedua cocok.

Teman sekelas yang "telat" mulai berdatangan memasuki ruangan. Di susul oleh dosen yang bergegas ke dalam sambil memegang telepon tipis yang ditempelkan ke telinga, kemudian duduk di bangkunya.

Hanya setengah jam dosen muda itu memperkenalkan diri, menjelaskan peraturan saat pembelajarannya, dan menerangkan sedikit tentang mata kuliahnya.

"Kali ini saya tidak lama karena hari ini belum efektif, dan ada penelitian yang harus saya kerjakan sampai sore. Jadi, begitu saja dulu. Jangan lupa kalian pelajari dulu mata kuliah saya. Terima kasih, saya harus buru-buru." Dengan segera Pak Irfan meninggalkan kelas.

Setelah Dosen pergi, semua orang bergegas dari ruangan. Ardo berjalan berdua bersama gebetannya entah ke mana. Aku yang tidak ada kegiatan memilih untuk tetap diam menatap jendela. Pikiranku langsung membayangkan perkataan lelaki yang tadi kupiting lehernya. Beraninya dia memerintahkan "Pengintai" untuk mengawasiku. Aku tak perlu itu. Lagi pula aku tidak mau kembali berurusan dengan hal yang bisa mencelaki orang-orang terdekatku.

Tiba-tiba ada yang bergetar di dalam tas gendongku, aku memeriksanya. Ternyata telepon jadulku menyala. Tanganku merogohnya, lalu nataku menatap layar. Ini pesan dari Salma, seketika perasaan marahku beralih menjadi kegirangan.

Aku membaca tanpa membalas pesannya karena pulsaku habis. Dia mengajakku bertemu di kantin kampus, aku bergegas melesat ke tujuan.

Namun, saat sudah setengah jalan ada pesan masuk ke teleponku, jika Mang Kurnia butuh bantuan belanja ke perluan dagangannya ke pasar. Katanya, dia tahu kalau aku tidak ada kelas lagi dari Ardo yang lewat ke kedainya.

"Waduh, kacau si Ardo, kacau!" gumamku sembari menepuk jidat.

Aku sampai di kantin. Salma melambai dari tempat duduknya sambil tersenyum, aku seperti meleleh menatap lekukkan bibir imutnya. Tanpa berpikir panjang, aku segera duduk di hadapannya.

Sekarang, aku bingung harus bilang apa pada Salma. Tapi kali ini berkata jujur akan lebih baik, meski kemarin banyak bohongnya.

"Kamu belum sarapan, kan?" katanya memastikan.

"Belum, sih, tapi ...." jawabku ragu.

"Tapi kenapa, Arka?"

"Sekarang, aku lagi buru-buru ada urusan mendadak." Sebernarnya aku tak mau meninggalkan dia di sini sendirian.

"Urusan apa? bilang, dong. Kenapa kamu kaya ragu gitu?"

"Aku ada kerjaan mendadak, bantuin Mang Kurnia belanja keperluan dagang."

"Kalau gitu, ayo, kita cepetan berangkat." Salma beranjak dari tempat duduknya.

"Eh, kamu mau ke mana?"

"Katanya kamu ada kerjaan. Aku mau bantuin."

Aku heran kenapa dia langsung ingin membantu, padahal dia belum tahu apa pekerjaanku, bahkan dia tidak menanyakan siapa Mang Kurnia.

"Tapi ini ke pasar, loh. Nanti baju kamu bau keringet, sepatu kamu kena kotor, becek, nggak ada ojek, Salma."

Dia terkekeh. "Nggak apa-apa, Arka, mau di sini juga ngapain nggak ada temen."

ARKA: Seorang Manusia yang Bukan Siapa-siapaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang