Lentera

85 22 3
                                    

Hari keenam belas, bulan delapan, Kalender Gregorian.

Tanggal enam belas bulan Agustus tahun ini akhirnya datang.

Aku penasaran mengapa Kenma mengajakku bertemu di tanggal ini, di hari seperti ini.

Aku mempersiapkan diri sambil melawan rasa kantuk yang masih menguasaiku. Memakai sebuah yukata berwarna biru dan juga sandal dari kayu.

Tidak lupa, aku membawa lentera itu. Lentera itu adalah suatu kewajiban di hari ini.

Banyak orang berlalu-lalang di jalanan yang disinari oleh sang rembulan. Mulai dari anak-anak, remaja, orang dewasa, sampai lansia, berjalan bagaikan sebuah arakan menuju kuil.

Wah, kali ini dia tidak telat.

Aku menangkap sosok berambut pudding yang familiar, berdiri di bawah lampu jalan. Aku melambai padanya walau aku tahu dia tidak akan membalas.

Haduh, di hari seperti ini, masih saja kencan dengan konsol game...

Aku memelankan langkahku, diam-diam mendekatinya. Hahaha, rupanya dia tidak menyadari kedatanganku.

Hmm waktunya balas dendam~

Ketika sudah berada tepat di belakang sosok itu, aku meletakkan daguku di pundak Kenma dan bersiul kecil.

"Semangat lawan boss-nya."

Reaksi Kenma melebihi ekspetasiku. Ia terlonjak kaget, bahkan konsol game yang ia pegang sampai terlempar. Untung dia berhasil menangkapnya dengan susah payah. Kalau tidak, konsol game itu akan terjebak di dalam selokan sampai kiamat datang.

"KUROO! KONSOLKU HAMPIR MASUK SELOKAN!" Kenma berteriak, dilanjutkan dengan sebuah bersin yang terdengar seperti bersin anak kucing.

"MWAHHAHAHHAHAHA!" aku tidak dapat menahan tawaku, entah karena ekspresinya atau bersinnya. Mungkin keduanya.

"Dasar. Jadi kalah, 'kan? Lupakan, ayo kita ke kuil." lanjut Kenma sambil mematikan konsol gamenya dan memasukkan benda itu ke sakunya.

Kami berjalan bersama melewati rumah-rumah warga, di bawah penerangan lampu jalan yang memancarkan cahaya oranye yang hangat. Jalanan kota dipenuhi berbagai suara yang menggambarkan kehidupan manusia.

Kuil di dekat rumah kami tidaklah besar, tetapi cukup luas dan indah. Lampion-lampion dengan berbagai macam warna menghiasi langit bagaikan bintang yang bertaburan.

Suara shamisen yang dipetik terdengar sangat indah, diiringi dengan pukulan taiko dan nyanyian para senior kota yang mengalun lembut. Beberapa wanita menari dengan kompak dan luwes, menggenakan yukata mereka yang berwarna-warni.

Suasana ini sungguh membuatku merasa menjelajahi waktu, kembali ke Zaman Edo. Ditambah lagi, ornamen-ornamen tradisional yang menambah suasana ini.

Benar-benar perjalanan menjelajah waktu...

Api penyambutan dinyalakan tepat di tengah-tengah festival. Asap yang berasal dari hasil reaksi pembakaran api dan kayu bakar itu menjulang tinggi ke langit malam. Menyambut para pengunjung baik yang terlihat, maupun yang tidak terlihat.

Baik manusia, yūrei, ataupara dewa.

"Suasana ini... Membuatku nostalgia." gumamku, lebih seperti berkata pada diri sendiri.

Kenma tersenyum melihatku.

"Kamu ingat?" ia bertanya padaku dengan wajahnya yang lembut.

"Ngg? Ingat apa?" alih-alih menjawab, aku malah balik bertanya.

"Lupakan, ayo kita pergi ke danau yang ada di belakang kuil. Sudah waktunya." ajak Kenma, menarik lenganku.

Jalan menuju danau di belakang kuil itu merupakan jalan setapak yang dikelilingi pohon dan beberapa lentera. Ada sebuah batu besar yang sudah lumutan, dengan jimat atau semacamnya yang dililitkan di batu itu.

Kami berjalan bersama, membawa lentera, melewati gerbang-gerbang torii yang catnya sudah mulai terkelupas. Aroma khas kuil tua memenuhi atmosfer, menimbulkan perasaan damai sekaligus membuat bulu kuduk berdiri.

Semakin kami berjalan makin jauh melalui gerbang-gerbang torii, di atas jalan setapak yang diterangi lentera, suara alunan musik tradisional yang terkesan mistis itu semakin menjauh. Gantinya, hanya ada suara hembusan angin musim panas, dan juga kumbang-kumbang di batang pohon.

Suatu perasaan aneh yang terasa begitu familiar memenuhi sanubariku. Renjana yang begitu kuat, membuat nostalgia. Nostalgia akan suatu hal yang aku tidak pernah rasakan dalam hidupku.

Kepingan memori dari kehidupan sebelumnya?

Sinyal aneh yang dikirim oleh alam semesta?

Perasaan ini...?

DEGGG!!!!

Ini... terjadi lagi.

Lagi-lagi kepalaku berdenyut-denyut, vertigo hebat itu kembali muncul, menyerang kepalaku. Rasanya seperti ada taiko yang dipukul-pukul sekuat tenaga di dalam kepalaku.

"Kuroo? Ada sesuatu yang mengganggumu?" tanya Kenma, khawatir, setelah melihat aku yang memegangi kepala dan berjalan sempoyongan.

Keringat dingin mulai membasahi tubuhku lagi.

"Ayo cepat, nanti ketinggalan!"

"Waahh, kembang api!"

"Aku mau dango!"

"Tunggu, jangan cepat-cepat larinya!"

Kepingan-kepingan memori yang seperti puzzle itu kembali terlintas di benak. Makin lama, makin banyak memori yang muncul. Pandanganku menjadi buram, tetapi aku masih biss melihat wajah Kenma di depanku.

Ia tersenyum, "Kuroo, mungkin ini sudah waktunya, ya?"

Apa maksudnya?

Apa maksud dari kalimat yang ia ucapkan itu?

"Tutup matamu, Kuroo. Percayalah padaku." sekali lagi, Kenma tersenyum dengan sangat lembut, lebih lembut dari biasanya.

Aku menatapnya dengan kebingungan. Walaupun aku tak tahu apa yang terjadi, aku tetap menutup mataku, menuruti permintaan Kenma.

Aku dapat merasakan dahinya menempel di dahiku, kehangatannya yang tersalurkan ke sekujur tubuhku.

"Apakah, kau ingat?"

Suara Kenma terdengar seperti suara seorang pesulap yang menghipnotis seorang bocah SD. Lembut dan menggema, membuat suara-suara lain yang ada di sekeliling kami menghilang dengan perlahan.

Perlahan tapi pasti, tubuhku serasa ditarik oleh gravitasi ke dalam lubang hitam.

Aku terjatuh.

Terbawa arus waktu.

Mengikuti arah gravitasi.

Melawan arah angin.

Berlayar bersama rembulan,

Melintasi lautan bintang.

Terseret.

Terjatuh ke dalam lubang tanpa dasar.

Terjatuh, terjatuh, dan terjatuh.

Aku mengantuk.

.......

.......

.......

BTW, HAPPY BELATED BIRTHDAY, KENMA!!!!! 🎂🎉

OpacararophileTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang