EMPAT

3 1 0
                                    

Satu tahun menuju pertarungan yang sebenarnya bagi Mbak Nana untuk mewujudkan mimpinya bukan sekedar langkah sederhana. Berbagai macam soal latihan diberikan kepadanya serta seluruh siswa kelas dua belas.

"Na, kamu jadi mau lanjut kemana?" tanya Mira saat menuju ke kantin.

"Ingin sekali diterima di perguruan tinggi negeri, begitu pun kamu, Mira."

"Tetap mau, arsitek?" tanya Mira menggodanya.

"Pasti, supaya aku bisa mendesign rumah kamu dan rumahku." Mereka tertawa bersama.

Bel sekolah berbunyi tepat pukul tiga sore, pertambahan satu jam pembelajaran setelah pulang sekolah menjadi hukum wajib bagi anak-anak seluruh kelas dua belas. Mbak Nana pulang bersama Mira lalu berpisah di perempatan jalan sebelum memasuki desa Sanjaya. Dia melihat bu rt di teras rumahnya saling tertawa dan berbisik. Selain ada bu rt, di sana juga ada ibunya Santi dan ibunya Ahmad teman dari Rima.

"Bu, permisi," sapa Mbak Nana di depan mereka.

"Nana, kamu jadi mau lanjut kuliat, tidak?" tanya Ibu Santi. Belum sempat Mbak Nana menjawabnya, Ibu Santi melanjutkan perkataannya, "Santi mau kuliah, masa kamu tidak kuliah, sayang kan sudah mendapat rangking terus," jelasnya lugas seperti sudah hapal di luar kepala.

"Semoga bisa lanjut, Bu. Dan Santi bisa diterima di kampus impiannya." Mbak Nana menimpalinya dengan tersenyum.

"Mbak Nana, semangat terus ya, biar bisa lanjut kuliah," kata Bu rt hangat dan tersenyum. Mbak Nana beranjak pergi.

Dari belakang, Rima berlari mengejarnya sambil sesekali memanggil- manggil Mbak Nana.

"Embaaak!" teriaknya seru sampai terdengar Mbak Nana.

"Adek, kamu dari mana?" Terlihat kelelahan dengan nafas yang memburu.

"Mbak, tadi aku sempat dengar ada yang bilang, katanya Mbak Nana tidak akan kuliah karena biayanya tidak punya." Rima masih kesulitan bernafas terlihat tersengal-sengal.

"Mereka sok tahu, iya kan, Mbak!" Rima merasa kesal.

"Biar saja, Rima." Mbak Nana kembali berjalan setelah Rima tiba di sebelahnya.

"Atau ..., kamu salah dengar?"

Rima menggelengkan kepalanya sebelum akhirnya menjawab, "tidak, Mbak. Mereka saja yang terlalu keras mengobrolnya, bu rt juga mengingatkan, tetapi," Rima memotong perkataannya merasa ragu untuk melanjutkan.

"Sudah, Dek. Yuk, kita pulang."

Satu dua petani melewati Mbak Nana dan Rima. Ada yang berjalan kaki beriringan dan mengayuh sepeda berbaris ke belakang. Para petani menyapa ramah, Mbak Nana dan Rima sesekali tersenyum, mengangguk dan menyapa.

"Abah Eman," seru Rima memanggil seorang laki-laki yang sedang menuruni bukit. Terukir senyum lembut di wajahnya setelah melepas topi kebunnya. Pak Eman lalu berjalan menghampiri mereka berdua. Mbak Nana dan Rima satu-satu menyalami tangan kurus Abah Eman.

"Mbak Nana, baru pulang?" tanya Abah Eman ingin tahu. Mbak Nana menjawabnya dengan senyuman dan anggukan.

"Abah sendiri, belum pulang?" tanya Rima.

Abah Eman memberitahu Rima bahwa dirinya baru saja merapikan kebun sayuran. "Baru saja, mau pulang."

"Abah bawa sepeda?" tanya Rima sekali lagi. Rima dan Abah Eman sangat dekat.

Dulu, saat Rima masih kelas satu sekolah dasar, Rima lebih suka digendong abah Eman saat pergi ke kebun. Katanya, abah Eman lebih kuat daripada bapak. Tentu saja bapak luar biasa senang karena Rima sangatlah gendut.

Menembus BatasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang