LIMA

0 0 0
                                    

Yang belum follow, yuk follow cepet.

Kalau follow w melejit, langsung deh 3 kali post satu minggu.

Selamat baca, vren. ❤
* * *

"Assalamualaikum," seru seseorang di luar pintu.

Emak beranjak membuka pintu "Waalaikumsalam."

"Masuklah, Nak Mira."

Mira terlihat membawa empat buku tebal milik sekolah yang terlihat lusuh bahkan tidak bersampul dibagian depannya.

Satu minggu menuju ujian sekolah sebagai penentu kelulusan bagi kelas dua belas.

Seluruh ruangan kelas disterilkan serta dijaga ketat agar tidak ada siswa yang melakukan kecurangan. Libur sekolah dua hari bagi kelas dua belas sebelum melaksanakan ujian minggu depan.

"Nana, aku belum siap seratus persen, nih." Mira sibuk mencari buku paket matematika.

"Harus siap, Mira. Kamu pasti bisa." Nana menghampiri Mira berniat membantu mencarikannya.

"Buku ini bagus, aku sudah pernah pinjam. Soal-soalnya juga bagus, ada pembahasannya."

Mbak Nana menyerahkan bukunya lalu tersenyum lembut. Mira terbelalak karena terlalu senang mendapat buku yang dicarinya.

Waktu istirahat digunakan siswa kelas 12 belajar di perpustakaan. Di lorong sekolah selalu saja ditemui siswa yang belajar kelompok.

Tidak hanya itu, mereka juga berlalu-lalang membawa buku-buku tebal berjudul "sukses menempuh ujian dengan nilai sempurna" dan lain sebagainya.

Ayam jago Jali dan Jalu sudah berkokok ria dari pukul empat pagi. Mbak Nana sudah terbangun dari pukul tiga semenjak bunyi alarm terdengar pertamakali.

Dia menyiapkan hari pertama ujiannya dengan sempurna dan sengaja bangun lebih pagi untuk menyegarkan pikiran.

"Mbak Nana, hari ini ujian ya?" tanya Rima mengucek-ngucek kedua matanya.

"Iya, Adek." Mbak Nana menjawabnya tersenyum.

"Doain, Mbak Nana, ya."

Rima membalasnya tersenyum kemudian berjalan menuju kamar mandi masih setengah sadar.

"Makanlah, Nak. Emak khusus buatkan nasi goreng telur ceplok," kata Emak menyuguhkannya di atas meja.

"Dan, Emak tambahkan doa-doa tulus ikhlas saat memasak nasi goreng," katanya sambil tersenyum menggoda.

Mbak Nana memeluknya, berharap apa pun doa yang dipanjatkan Emak, Allah SWT mengabulkan.

Ya, Allah, permudah dan lancarkanlah aku dan teman-temanku hari ini.

Lapangan sekolah dipenuhi siswa kelas dua belas. Sepuluh menit sebelum memasuki kelas masing-masing, siswa berdoa bersama secara singkat dipimpin oleh guru agama.

Bel berbunyi setelah dua menit sesi berkumpul di lapangan usai. Waktu terasa singkat, apa pun yang dilakukan terasa sangat bermakna, setiap gerak-gerik yang dilakukan terasa diawasi oleh beribu pasang mata yang tidak terlihat.

Resmi dan tertata. Waktu yang berat dan ketat akan dilalui siswa selama enam hari kedepan.

Minggu pagi Mbak Nana dan Rima mengirim makanan ke kebun. Di sana ada emak dan abah Eman yang sedang mencangkuli tanah.

Mbak Nana dan Rima melewati kebun-kebun tetangga. Satu dua diantara mereka menyapa ramah. Juga, ada pula yang berbisik dibalik tumbuhan teh.

"Kalian mau mengirim emak?" tanya ibu Wati disela-sela tanaman teh.

"Iya, bu" Rima menjawabnya.

"Nana sudah lihat pengumuman sekolah?" tanya Ibunya Farhan yang ikut memanen teh.

"Kata Farhan, kamu tidak lulus, betul, Nak?"

Mbak Nana belum sempat menjawabnya.  Ibunya Santi sudah menjawab tanpa diminta.

"Kan benar. Nana tidak perlu kuliah, bantuin emak di rumah," katanya tersenyum licik.

"Bukannya nilai Nana besar-besar?" tanya Bu rt.

Mata mbak Nana terasa panas. "Farhan dan Santi lolos?" tanya hanya pura-pura.

"Ya jelas. Santi diterima."

Angin bertiup kencang menyingkap topi pemanen teh sehingga hampir terlepas.

Tidak hanya itu, sepoi angin membuat mata Mbak Nana kering dan hampir basah menahan hawa panas yang mengungkung.

"Heh, kalian tidak tahu malu," seru Abah Eman.

Semua pasang mata seketika mencari asal datangnya suara. Emak dan Pak Salim menyusul di belakangnya.

Rima melihat emak datang. Kemudian mengajak mbak Nana menghampiri emak.

"Lihat Salim, apa kata Istrimu." tunjuk Abah Eman ke arah Ibunya Santi.

"Angkuh," seru Abah Eman.

"Sudah, jangan dilanjutkan," kata Emak menengahi abah Eman yang terus berbicara.

Emak memandangi wajah Mbak Nana yang tertunduk menahan sakitnya hati. Menahan runtuhnya tebing yang kuat melindungi kedua matanya. Lalu mengajak Mbak Nana dan Rima meninggalkan kebun.

Cepat sekali berita tersebar. Seolah penjuru desa Sanjaya setiap sudut memiliki beribu jutaan pasang mata yang tidak terlihat.

Setiap perkumpulan warga terutama ibu-ibu tidak jarang yang membicarakan mbak Nana. Bak mendadak menjadi buah bibir.

"Rima, kamu harus pintar, supaya bisa kuliah."

Para ibu mendadak menjadi bermulut gatal. Bermulut licin hobi menyinggung orang lain.

"Tanpa belajar pun, aku bisa lanjut kuliah." Rima menjawab sekenanya tidak berpikir ba-bi-bu lalu pergi.

Seolah melanjutkan kuliah menjadi hukum wajib desa Sanjaya, mendadak menjadi berita terhangat. Menjadi naik daun.

Mbak Nana sibuk menyiapkan berbagai macam lembaran kertas yang terlihat membingungkan bagi Rima.

"Mbak," panggilnya.

Tangan mbak Nana membolak-balikan berbagai macam kertas. Membacanya lalu membalikkan, meletakkan kemudian membacanya lagi.

"Mbak, aku pusing lihat mbak, tiba-tiba membalikkan, menaruh, membaca, membalikkan lagi."

Rima menggelangkan. Menggelembungkan mulutnya.

"Mbak menyiapkan syarat daftar tes, Adek." jawabnya tanpa sedikit pun menoleh.

"Kapan mbak, berapa kali tesnya."

"Dua kali, semoga Mbak lulus ya."

Menembus BatasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang