▬puja tangis yang
bertabur tragis.Kelereng zamrud menyorot tenang. Kepada malam yang menyelam dalam lengang. Yang sering menegurnya, karena sekala tertangkap basah. Adalah cempala, untuk kagumi gumintang yang ada dalam rengkuhannya. Dan, yang seharusnya tak dilirik, karena ia bukanlah sang pemilik.
Menamparnya hingga terkapar.
Seakan kembali menyadarkannya.
Akan siapa dirinya.
Sebab, ia hanyalah imajinasi dari seorang pemimpi.
Ting!
Denting nada singkat buatnya sedikit berjingkat. Kelereng pemilik durja dengan bekas luka itu sedikit melirik pada ponsel pintar yang ada dinakas, sebelum akhirnya datang dan meraihnya.
¡you got a new message!
Sesaat satria terdiam, juga bertanya. Akan pesan tanpa nama yang di terimanya.
Namun, inilah saat baginya.
Untuk bangun dari dunia mimpi▬
▬juga pulau ilusi yang tak bertepi.
***
Sebisa mungkin. Diri kembangkan kurva, demi sambut hadirat di hadapan. Kemudian, dengan sedikit keberanian, lisan yang semula terkatup itu terbuka. Demi ucapkan sebait kata, "Maaf karena telah membuat mu menunggu, mitsuya-san."
"Tidak apa-apa," balas tuan bermahkota lilac.
Berpijak dalam canggung. Tak begitu banyak bercakap. Adalah suatu hal yang biasa untuknya, namun mengapa kali ini terasa begitu berbeda?
"...Jadi?" ucap seishu, membuka topik. "Mengapa mitsuya-san memanggil ku malam-malam begini?"
"Aku tahu aku tak seharusnya berkata seperti ini,"
Untai kata barusan. Jadi awal sesak terasa begitu menjejal. Begitupun bagi lawan bicara, yang tampak begitu dirundung payah. Meski hanya sekedar untuk ungkapkan gundah.
"Kau terlihat begitu serius," kata seishu, kini tawa singkat ikut keluar dengan kata setelahnya▬
"Kau tak seharusnya melewati batasanmu,"
▬namun seketika lesap, begitu juga dengan cercah sang harap.
Apakah sebegitu bencinya ia? Bahkan hanya sekedar untuk titipkan secuil asa kepadanya?
***
Tertatih. Tapaki letih, juga tangisi payah. Lalu, apakah satria akan ucapkan kata menyerah?
Melangkah gontai, bahkan terseok-seok pula bayangan mengikutinya. Awan kelabu mengiringi, juga berkecamuk dalam jiwa yang berkabut.
Kepada siapa ia kecewa?
Juga amarah, kemana akan ia luapkan?
Jejak basah pada bawah pelupuk. Atas sebab apa ia menangis?
Bukankah ia telah berkata, bahwasanya tak akan menyesalinya sedikit pun?
Karena nyatanya, manusia memang serumit itu.
Papan besar itu dibuka, juga diikuti sorot sang rembulan, yang sanggup perangahkan sang gelita. Menerobos ruang yang begitu lengang.
Tiap tapak melangkah. Hanya bisik derapan mengiringi, juga disaksikan bangku-bangku kosong dalam bisu.
Kepala yang tertunduk itu masih sama, namun dengan segenap harapan yang tersisa, ia kembali melangkah. Hingga sampai pada hadapan-Nya, ia berkata, "Akan kurelakan apapun yang engkau ambil dariku,"
Begitu katanya.
"Tapi," penangguhan juga syarat, dengan jeda beratnya tiap hela napas yang ia ambil. Lirihnya berpinta, "Namun untuk kali ini saja, aku hanya menginginkannya. Itu saja,"
Dua permata teduh terpejam. Akan tetapi, dengan kening yang mengerut kaku, juga bersimbah peluh. Kini luruh dan bercampur lelehan embun biru.
"Aku tak menginginkan yang lain," yang ia permohonkan.
"Jadi tolong," lanjutnya, dengan kedua tangan yang saling menaut, juga digenggam erat.
Kepada-Nya, juga Untuk-Nya.
Derai kian menjadi, punggung tegap itu kian merapuh. Dan kini, genggaman tangan di dekap erat dalam dada. Ia jatuh, juga takluk. Bersadrah dalam sujudnya. Tunduk. Seakan, ia memang terlalu lancang, untuk menentang ketetapan yang telah dirancang.
Sedari awal.
Bukankah ia harus segera disadarkan?
Sungguh tak tahu diri.
Ia begitu lupa diri.
Akuilah kata menyerah, dengan begitu semua akan menjadi lebih mudah.
Nyatanya, rela memang tak semudah kata.
Akan tetapi, kini ia kembali. Oleh karena adanya ia lah, kini diri berkata pada-Nya. Juga taburkan tangis pilu dalam pinta.
Lihatlah, betapa menyedihkannya hamba mu.
•••
KAMU SEDANG MEMBACA
ᝰ rahsa↬inui seishu
Fiksi Penggemar๑ °乾 青宗 /inui seishu° ๑ ❛ untuknya, yang tengah jagai rahsa ❜ ▂ written by ©zzana-bae tokyo revengers ©kenwakui