chapter 18 :「 Aircraft 」

607 101 5
                                    

~oOo~

Seorang wanita tengah berdiri sembari menatap Riki, tatapan hangat yang membuat Riki sedikit tenang.

"Siapa kamu?!" Tanya mama Riki dengan nada sedikit meninggi.

"Perkenalkan sebelumnya, saya Kim Yewon, atau biasa di panggil Umji." Ucap wanita tersebut sembari berjalan menghampiri Riki.

"Kau? Kau dokter yang saat ini sedang banyak di bicarakan itu kan?" Tanya mama Riki ragu.

"Iya, dan saya kesini ingin mengambil hak asuh Riki." Jawab Umji.

"Ngga bisa gitu dong, dia anak saya." Balas mama Riki.

"Anak? Tidak ada yang bisa di sebut seorang ibu jika dia adalah perusak mental anak sepertimu." Ucap Umji penuh penekanan.

"Apa maksudmu?!" Tanya mama Riki dengan nada tinggi.

"Kau bahkan tidak sadar sikapmu hampir saja membunuh nya. Jika saja Riki tidak kuat mungkin dia sudah mati sejak lama karena sikapmu itu." Balas Umji.

'Mati' Satu kata yang berhasil membuat Nyonya Nishimura dan Konon sedikit tersentak.

"Jika kau tau, Kiki sudah berhasil mempengaruhi pikiranmu untuk membenci Riki. Riki, sudah lama menutupi seluruh penyakitnya hanya agar kau tidak menindasnya lebih dalam. Bisa kau bayangkan anak berusia 9 tahun harus menahan kesakitan yang hebat sendiri?"

Mama Riki sedikit kebingungan oleh perkataan Umji barusan.

"Pneumonia." Sambung Umji sembari menatap mama Riki dan Konon secara bergantian.

Mama Riki dibuat membeku oleh pernyataan Umji, pandangannya seakan terkunci, tak berani menatap anak laki-lakinya itu yang kini sedang tersenyum tipis sembari melihatnya.

"M-maksud mu?" Mama Riki menatap Umji sedikit ragu.

"Kantung udara pada kedua paru-paru Riki mengalami infeksi yang menimbulkan peradangan, dan kau tau jika Riki tidak mendatangiku dulu aku benar-benar tak tau apakah dia akan bertahan atau tidak." Jawab Umji dengan nada sedikit meninggi.

Mama Riki menatap kearah anak laki-lakinya tersebut dengan mata yang sudah berkaca-kaca. Putaran memori masa lalu saat mereka masih bersama-sama berlima membuatnya tak bisa lagi menahan tangis.

"Riki, kenapa kamu ngga bilang?" Lirih mama Riki sembari menatapnya.

"Bukannya mama terlalu sibuk mengkhawatirkan Kiki di Amerika saat itu? Jadi aku tidak ingin kekhawatiranmu semakin bertambah." Jawab Riki dengan tawa remehnya.

"Dan jika kau tau, karena sikapmu itu, Riki mengalami gangguan kecemasan yang berlebihan." Ucap Umji sembari menatap mama Riki dengan tajam.

"Dan kau? Harusnya kau sebagai kakaknya tidak terlalu sibuk dengan kekasihmu dan menghiraukan adikmu yang sedang berjuang, setidaknya berilah semangat jika tidak ingin menemaninya berjuang." Sambung Umji sembari menatap sinis ke arah Konon.

Konon tau ia salah, ia terlalu dibutakan oleh cinta kekasihnya yang sampai membuatnya tidak pernah lagi memperhatikan keadaan keluarganya terutama Riki.

"Riki maafkan mama.." Lirih mama Riki sembari menatap Riki dalam.

"Sudah Riki ayo kita pergi, sebentar lagi penerbangan kita." Ucap Umji sembari melihat kearah jam tangan yang ia kenakan.

"Ma, maafin Riki yaa belum bisa banggain Mama. Oh iya ma, sebenernya hadiah ini mau Riki kasih dulu cuma kalian keburu pindah rumah jadi Riki ngga sempet kasih, dan buat kakak aku udh kirim uang ke rekening kakak." Ucap Riki sembari memberikan sebuah kotak perhiasan berisikan kalung emas yang dihiasi berlian.

"Maaf ya, Riki pergi dulu. Mungkin buat waktu yang lama kita ngga akan ketemu lagi, tapi Riki janji suatu saat nanti Riki akan balik ke sini lagi, Riki cuma mau nenangin diri dulu sekalian istirahat disana." Sambung Riki sembari tersenyum manis kearah mama dan kakaknya secara bergantian.

"Ayo Riki." Ucap Umji sembari menarik Riki untuk pergi dari sana, tak lupa ia meletakkan sebuah map berisikan surat pengambilan hak asuh beserta uang yang cukup banyak tentunya.

Mereka pun segera pergi menuju bandara karena 40 menit lagi penerbangan mereka.

"Noona, yang Riki lakuin bener kan?" Tanya Riki sembari menatap Umji yang berada di sebelahnya.

"Iya, yang Riki lakuin udah bener banget kok." Jawab Umji sembari mengusap rambut Riki. "Udah ayo kita masuk sekarang." Sambung Umji sembari keluar dari taxi dan mengambil koper bawaannya di bagasi.

Kini mereka telah berada di dalam kabin pesawat, telah menemukan tempat duduknya masing-masing. Riki menatap kearah luar jendela, menatap sendu bandara Okayama yang sebentar lagi tak akan ia lihat lagi dalam waktu yang cukup lama.

'Entahlah, tapi rasanya kaya benar-benar ini terakhir kali untuk semuanya.' Batin Riki yang berhasil membuat air mata indahnya terjun bebas melewati pipinya.

Kini mereka sudah tidak lagi menyentuh daratan Jepang, pesawat yang mereka tumpangi telah terbang di langit yang memiliki pemandangan sedikit mendung.

Sekitar 30 menit berlalu Riki selalu saja dihantui dengan rasa gelisahnya, ia terus saja menggenggam ujung bajunya sembari menatap Umji sekilas.

"RIKII!!" Umji pun berteriak sembari mendekatkan dirinya kepada Riki.

"NOONAA!!" Teriak Riki sembari memeluk Umji begitu erat.

.
.
.
.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Riki & Kenangan AbadinyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang