11. Tragedi Tusuk Sate

17.6K 1.9K 70
                                    

Jam delapan malam Raka masih betah berada di kantor. Saat ini dia sedang membicarakan hal yang serius dengan Ilham. Dia tidak menyangka jika kerja sama untuk proyek besar terancam gagal karena klien-nya juga pendapatkan penawaran dari perusahan arsitektur lain. Jika sudah seperti ini maka Raka harus memikirkan keuntungan-keuntungan apa saja yang akan ia tawarkan agar kerja sama tetap berlanjut. Proyek besar ini memiliki banyak keuntungan, tentu Raka berusaha untuk mempertahankannya.

"Tau dari mana ya si Doni kalau Pak Naru mau bikin mall?" tanya Ilham bingung.

Raka menatap Ilham aneh. Kadang pria itu bisa sangat jenius dan juga bodoh di waktu-waktu tertentu.

"Udah banyak beritanya, Ham. Kenapa masih tanya?"

"Ya heran aja gitu, udah jelas-jelas Narutama Group mau pakai Adhitama Design, tapi kenapa si cecenguk Doni malah mrepet di tengah? Bikin gedeg aja."

"Belum ada tanda tangan, makanya dia berani maju."

"Terus gimana?"

"Ada beberapa ide tapi masih gue pikirin. Besok adain rapat jam delapan pagi."

"Oke, ini udah selesai kan?" tanya Ilham mulai memakai jaketnya.

"Lo mau balik sekarang?" tanya Raka.

"Iya lah, bini gue udah chat dari tadi." Ilham menunjukkan ponselnya.

"Temenin gue makan dulu."

Ilham menggeleng, "Nggak bisa, Tari masak hari ini makanya disuruh pulang dari tadi. Atau lo yang mau makan di rumah gue?"

Raka memutar matanya jengah, "Males, jadi nyamuk."

Ilham tertawa, "Makanya cari cewek. Nggak bosen apa jomblo terus? Enak loh kalau ada yang elus."

"Pulang nggak lo?" usir Raka.

Ilham pamit dan berlalu keluar. Tinggalah Raka sendiri di kantor yang sebagian sudah gelap ini. Hanya ada satpam yang berjaga di lantai bawah. Raka memutar kursinya agar bisa melihat pemandangan kota yang dipenuhi dengan lampu-lampu terang. Semakin malam maka keadaan akan semakin ramai, itulah kota besar. Meskipun matanya tertuju pada jalan raya, tapi tidak dengan otaknya. Dia sedang berpikir keras bagaimana caranya bisa memenangkan proyek besar ini. Ini bukan lagi tentang uang, tapi harga diri seorang Raka Adhitama.

Saat masih berpikir, Raka merasakan perutnya bergetar. Dia menyentuh perutnya dan menghela napas kasar. Pantas saja dia merasa lapar karena ia melupakan waktu makan malamnya. Kebiasaan yang buruk, Raka menyadari itu. Dia meraih ponselnya dan mencari nama Nindy. Dia bersiul sambil mengetikkan pesan untuk gadis itu.

"Sudah tidur?"

Nindy yang memang sedang online dengan cepat menjawab.

"Sudah, Pak."

Raka terkekeh dan berdiri dari duduknya. Dia meraih jasnya dan berjalan keluar. Tak lupa dia juga membalas pesan menyebalkan yang Nindy kirim tadi.

"Saya otw."

Saat akan memasuki mobil, ponselnya kembai bergetar. Lagi-lagi dia terkekeh membaca pesan Nindy.

"Nggak mau! Saya mau bobok!"

Tanpa menjawab, Raka mulai menjalankan mobilnya ke kost Nindy. Dia hanya butuh teman untuk makan. Sebagai asisten pribadi, Nindy harus siap 24 jam. Meskipun menyebalkan tapi Raka senang saat membuat gadis itu kesal.

***

Dengan bibir yang maju, Nindy menuruni tangga sambil menghentakkan kakinya. Dia tidak berhenti menggerutu saat tahu jika Raka benar-benar datang ke kost-nya. Apa lagi yang pria itu inginkan? Beruntung orang tuanya sudah beristirahat malam ini.

Okay, Boss! (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang