8. Harus Sabar!

14.3K 1.9K 55
                                    

Di dalam ruangan Raka, Nindy terdiam sambil menatap maket di hadapannya. Maket itu baru saja datang dan dia yang menerimanya mengingat jika Raka tidak sedang berada di kantor saat ini. Dia sedang pergi bersama Ilham ke lokasi proyek pembangunan.

Tangan Nindy terulur untuk menyentuh kaca yang melindungi maket tersebut. Dia kembali terperangah dan menggeleng tidak percaya. Saat maket yang berukuran cukup besar itu datang, Nindy tidak bisa berhenti untuk terpesona.

Maket concert hall itu dirancang dengan desain yang rumit dan unik, khas dari Adhitama Design. Apa ini proyek Raka? Jika iya maka Nindy tidak bisa berbohong jika pria itu memiliki otak yang jenius. Memikirkan hal sekecil mungkin yang tidak pernah Nindy pikirkan sebelumnya.

"Jenius sih, tapi sayang songong. Jadi banyak minus-nya." Nindy mendengkus.

Dia berjalan berputar sambil menatapi maket itu dengan detail. Meskipun hanya asisten tapi Nindy banyak belajar di tempat ini. Berbaur dengan orang-orang yang ahli pada bidangnya membuat Nindy mengerti akan banyak hal mengenai dunia arsitektur yang tidak ia temukan saat kuliah.

Pintu ruangan terbuka dan Nindy langsung berdiri tegap. Raka masuk dan menatap Nindy aneh.

"Udah dateng maketnya?" tanya Raka ikut melihat hasil karyanya.

"Ini yang desain siapa, Pak?" tanya Nindy berdiri di samping Raka.

"Menurut kamu?" Raka berjalan menuju kursinya.

"Iya.. iya.. Pak Raka yang bikin." Nindy mencibir pelan.

Nindy berjalan mendekat dan memberikan map yang sedari tadi ia bawa, "Dari Mas Dodit."

Raka mengangguk dan mulai membuka map itu. Wajahnya yang serius tampak lebih baik jika dibandingkan dengan wajah angkuhnya.

Nindy berdehem dan duduk di kursi yang tersedia, "Itu mau dibangun di mana Concert Hall-nya, Pak?"

"Bangkok," jawab Raka singkat.

Nindy membulatkan bibirnya tidak percaya. Pantas saja desain itu terlihat sangat megah, ternyata proyek luar negeri.

"Ajarin dong, Pak." Nindy melipat kedua tangannya di atas meja.

Raka melirik Nindy dengan alis yang terangkat, "Emang kamu nggak belajar pas kuliah?"

"Ya belajar lah, Pak. Tapi nggak kayak gini, dulu saya bikin maket mentok ya gedung mall. Itupun nilainya pas banget."

"Mana? Saya mau liat." Raka menutup map-nya dan mulai menatap Nindy sepenuhnya.

Nindy bergegas meraih ponselnya dan menunjukkan foto maket yang ia buat semasa kuliah. Nindy harap-harap cemas menanti respon yang Raka berikan.

Raka sendiri tampak mengangguk sambil memperhatikan karya Nindy. Sesekali alisnya bertaut membuat jantung Nindy berdebar karens tidak tenang.

"Untung saya bukan dosen kamu," ucap Raka tiba-tiba.

"Kenapa, Pak?"

Raka mengembalikan ponsel Nindy dan bersandar dengan angkuh, "Bisa habis kamu sama saya."

Nindy mendengkus dan mengambil ponselnya kesal. Menyesal dia memperlihatkan maket yang ia buat. Seharusnya dia tahu jika Raka akan selalu mengejeknya.

"Makanya ajarin saya."

Raka tampak berpikir. Tangannya memainkan pensil dengan pelan. "Oke, saya kasih kamu tugas."

Bukannya senang, Nindy malah tidak tenang. Bukan ini yang ia inginkan. Dia hanya ingin belajar, bukan malah menambah beban.

Okay, Boss! (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang