📜 CHAPTER DUA 📜

19 1 0
                                    

Reyn masih memegang surat dan coklat pemberian Navin, Dia hanya menghela napas sejenak lalu meletakkan surat beserta coklat tersebut diatas meja belajarnya. Jujur saja surat yang dibuat oleh Navin cukup cantik menurutnya. Tapi sekali lagi baginya itu terlalu berlebih-lebihan untuk sebuah kata terimakasih.

Reyn menatap langit-langit kamarnya yang berwarna biru. Warna biru yang sama dengan warna biru surat dari Navin. Entah kebetulan atau bukan tapi agak aneh jika warna surat tersebut adalah warna favorit Reyn. Warna biru langit.

Warna yang selalu mendapatkan tempat tertinggi di hatinya meski warna monokrom lebih cocok untuknya. Nyaris semua barang ataupun pakaian milik Reyn lebih dominan abu-abu, hitam, dan putih. Sebenarnya Reyn tak pernah ambil pusing dengan hal itu tapi berbeda dengan Hilmi temannya. Terkadang Hilmi akan berkata seperti ini.

" Lo cewek sesekali pake baju yang agak cerah kek, jangan monokrom mulu. Bukannya Lo suka warna biru? "

Reyn tentu saja tidak peduli. Dia tidak akan mengacuhkan komentar sepele milik Hilmi. Toh, Hilmi juga belum tau alasannya menyukai warna biru.

Tiba-tiba HP milik Reyn berdering. Memperlihatkan nama kontak seseorang yang sangat Reyn kenal. Bukan hanya kenal tapi seseorang yang sudah menemaninya sejak dia dalam kandungan sang Bunda.

" Halo kak? "

" Reyn? Gimana? Kamu udah cek saldo kamu? Kakak udah ngirim uang buat biaya sekolah sama uang saku kamu. "

" Sudah kak. "

" Uang yang kemarin sisa banyak loh Reyn, nggak kamu pake ya? "

" Aku pake kok kak. " Reyn mulai menggigit gbibir bawahnya. Mencoba untuk menahan perih dalam hati meski air mata tak keluar walau se senti.

" Ya udah, kakak balik kerja dulu. "

" Kak Nay? Kakak gak mau jenguk Bunda? "

Reyn berharap kali  ini saja kakaknya mau untuk menengok sang Bunda di Rumah sakit. Sudah 3 tahun sejak Bunda di rawat namun kakaknya hanya sekali menjenguk.

Berkali-kali Reyn mencoba menjelaskan keberadaan sang Kakak kepada Bunda. Namun, Bunda hanya berteriak marah lalu berakhir Reyn meninggalkan ruangan rawat Bunda.

Sesaat Reyn mendengar helaan napas panjang dari seberang telepon. Baiklah Reyn mengerti kakaknya masih belum siap. Namun sampai kapan? Sampai kapan Reyn harus berpura-pura bahwa dia baik-baik saja ketika yang Bunda nya ingat hanyalah sang Kakak.

" Maaf Reyn, kakak masih sibuk dengan pekerjaan kakak. Kamu juga tahu ini juga buat Bunda, buat kamu, buat kita semua. "

" Oh, iya kak. Ya sudah Reyn tutup telepon nya bye. "

Sambungan telepon terputus, lagi dan lagi perih itu menghujam dada. Sendiri Reyn memeluk perih yang semakin menganga, tak ada yang mengkhawatirkannya barang sedikitpun. Sang Papa pergi bersama wanita lain. Tak terima hal tersebut sang Mama shock berat ditambah depresi akut yang membuat sang Mama harus dirawat di rumah sakit karena kondisinya yang cukup mengkhawatirkan.

Lalu, kakaknya Nayra harus bekerja banting tulang untuk memenuhi kehidupan sehari-hari serta membiayai pengobatan Mama. Sendiri Reyn tinggal di rumah yang merekam semua kejadian masa lampau.

Terkadang Reyn menginap di rumah Ceysia. Namun, Reyn lebih sering keluar rumah di malam hari bersama Jovin dan teman-temannya. Terkadang meski mereka memutuskan untuk pulang Reyn duduk termenung di depan minimarket yang buka 24 jam. Terus merenung dan bertanya pada diri sendiri hingga pukul satu dini hari.

Reyn melirik jam dinding di kamarnya. Sudah jam 3 sore jadwalnya membersihkan rumah. Reyn adalah tipe anak yang terorganisir jika sesuatu tidak sesuai dengan rencananya maka dia akan mudah marah dan sedih. Reyn memang suka jika semua kegiatannya teratur dan tepat waktu. Karena itu Reyn tidak pernah terlambat ataupun lupa mengerjakan tugas. Karena akan selalu menyusun jadwal kegiatannya setiap hari.

Surat dari Agustus|•RyujinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang