Sepi menyelimuti sebuah lorong rumah sakit, seorang pria dewasa berusaha menenangkan anak laki-laki yang tengah terisak di depan ruang gawat darurat. Ia masih shock, mengingat dirinya yang baru pulang sekolah dan menemukan sang adik yang tergeletak di bawah tangga, tak sadarkan diri.
"Sudah den, lebih baik kita berdoa untuk den Leo."
Pak Eko -Supir pribadi keluarga Nafandi- mengusap punggung tuan mudanya.
Suara derap langkah kaki yang bersahutan mengalihkan atensi Pak Eko, kedua majikannya datang dengan wajah panik.
"Gimana Leo?" Tanya Mario.
"Masih di tangani dokter, tuan."
Mario mengusap wajahnya frustasi, ia menatap tajam seorang wanita yang tengah cemas.
"Lihat! Gara-gara kamu Leo jadi gini."
"Mas, plis jangan ngajak berantem saat keadaan kaya gini." Yuna memalingkan wajahnya.
"Udah tau anak sakit, dan kamu masih mentingin kerjaan kamu yang ga penting itu. Kita cerai." Mario tak bisa menahan emosinya lagi. Ia tak bisa mentolerir perbuatan Yuna yang lebih mementingkan karirnya daripada keluarganya.
"Mas kita bisa bicarain ini baik-baik." Suara Yuna bergetar, tak dapat membendung air matanya. Tak percaya suaminya dengan mudah mengucapkan kata-kata itu.
"GA PERLU! Silahkan kamu pergi dan selamat sekarang kamu bebas dengan karir musik sialanmu itu." Bentak Mario, tak peduli dengan istrinya yang tertunduk menangis.
Yuna menghampiri Lio yang tengah menangis setelah menyaksikan pertengkaran hebat kedua orang tuanya. Yuna mengusap air matanya, berusaha tegar dihadapan putra sulungnya.
"Lio ikut bunda yuk." Lio hampir menggeleng namun urung ketika melihat mata bundanya yang penuh luka dan air mata. Yuna berusaha tersenyum dan meraih tangan Lio.
"Tapi Lio mau liat adek bun." Lio menangis kencang dalam pelukan Yuna.
"Aku harap kamu mempertimbangkan lagi keputusanmu, aku pamit." Yuna masih berharap jika itu hanya emosi sesaat suaminya saja.
"Adek maafin kakak."
"Adek.. maafin kakak."
Yuna membekap mulutnya, berusaha meredam tangisannya melihat putra sulungnya itu menangis dalam tidurnya. Ini bukan pertama kali ia mendengar si sulungnya mengigau memanggil sang adik, namun perasaan bersalah itu selalu muncul.
"Sayang, bangun dulu nak." Bisik Yuna sembari menghapus air matanya. Seperti sihir, kelopak mata Lio terbuka.
Wajah lelah dan mata sembab serta senyuman tipis bundanya lah yang pertama kali tertangkap hazel sayu itu.
"Bunda.." Lio meraih tangan sang bunda, menggenggamnya dengan erat. Hal itu membuat Yuna hawatir.
"Sayang, ada yang sakit nak?"
Pemuda itu menggeleng sebagai bentuk jawaban tidak.
"Maafin Lio udah bikin bunda nangis lagi." Lirihnya sembari mengusap air mata sang bunda.
"Nanti setelah kamu sembuh kita cari Leo ya nak, bunda kangen banget sama dia."
Lio tersenyum lebar, hampir 10 tahun lamanya setelah perceraian itu, Yuna tak pernah lagi membahas kerinduannya pada putranya yang lain. Yuna lebih memilih memendamnya sendiri dan berusaha tegar dihadapan Lio.
"Makasih banyak bunda, Lio sayang banget sama bunda."
Yuna merengkuh tubuh yang masih lemas itu ke dalam pelukannya dengan hati-hati. Ia merasa sangat jahat, membuat anak sulungnya dalam kungkungan rasa bersalah yang terus menghantui tidurnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Another Sky
Fanfiction"Aku ingin kita menjadi satu lagi." -Zevan Minleo Nafandi-