19XX - 199X

191 28 0
                                    



19XX – 199X

"Apa yang kau lakukan di sini sendiri? Tidak takut memang?"

Pemuda dengan titik hitam di bawah mata kirinya itu mendongak, menatap sosok laki-laki yang mungkin seumuran dengannya berdiri menjulang di hadapan dirinya.

"Tidak. Lagi pula ini masih di wilayah taman, belum terlalu dalam bagian hutan. Toh, masih ada beberapa orang yang berjalan sore menikmati udara hangat," jawabnya kemudian lanjut menorehkan warna di atas kanvas bulatnya.

Bunyi daun yang diduduki sedikit mengganggu, ia lirik lelaki di sampingnya. Titik hitam di dekat mata kanan menarik perhatian si ranum tebal. "Kau memiliki moles juga, ya, di dekat mata," ucapnya basa-basi.

Jemari yang ujungnya kasar itu menunjuk titik hitam di bawah mata kiri si pelukis, "Kau juga, bedanya berada tepat di bagian tengah bawah mata kirimu. Tampan dan manis."

Semburat merah tipis muncul, si ranum tebal menggigit pipi dalam agar tidak tersenyum malu.

"Terima kasih pujiannya."

Dehaman sebagai balasan. Lelaki berahang tegas itu memilih membuka buku dari dalam tasnya. Membaca tiap tulisan yang mewarnai kertas kuning buku, tanda buku tersebut sudah lama.

Membuat lelaki lainnya juga kembali memfokuskan diri membubuhkan sewarna biru pada kanvas.

Keheningan menenangkan, padahal baru kenal, tetapi seakan sudah lama bersama. Terasa nyaman bagai rumah.

Sayang, ketenangan tak bertahan lama sebab setetes merah ikut warnai kanvas. Tidak sempat dihapus, lelaki di sampingnya melihat. Tatap khawatir si penulis beri pada si pelukis yang buru-buru menutup hidung mancungnya dengan telapak tangan dan ujung lengan baju. Menunduk menyembunyikan wajah.

"Kau kenapa? Berhenti, jangan diusap. Ini, pakai saputangan milikku."

Kain persegi putih berubah merah. Jaket tebal disampirkan di bahu mencoba memberi hangat. "Di mana rumahmu? Aku antar pulang sekarang."

"Dekat pertigaan samping toko buku," ujar ranum tebal susah payah, dirinya lemas luar biasa. Bahkan untuk berdiri saja tak mampu sampai harus dipapah menuju rumahnya. Menyenderkan seluruh tubuh pada lelaki tegap yang sebenarnya kesulitan membawa banyak barang juga tubuh si pelukis.

Namun, entah mengapa, ia bersedia melakukannya.

"Istirahat yang cukup. Kapan-kapan kita bertemu lagi di pohon yang tadi. Oh! Sebentar!"

Lelaki yang senyumnya mirip lengkung bulan itu buru-buru merobek buku bacaannya tadi untuk sekadar menulis sebaris digit angka, lalu menyelipkan di antara jemari yang ranum tebalnya memucat yang kini terbaring lemah.

"Hubungi aku sebelum kau ingin bertemu denganku, takutnya aku sibuk. Jaga kesehatanmu, aku pulang dulu. Sampai jumpa lagi," pamit si lelaki sebelum pergi meninggalkan lelaki lainnya. Tersirat janji temu kembali lain waktu.

Disebabkan kondisi sang pelukis yang masih kurang baik, perkenalan lebih lanjut mereka lakukan lewat pesan suara, telepon rumah selalu di dekat mereka, bertukar cerita dan lainnya.

Fakta satu persatu saling mereka ketahui. Lelaki yang kemarin dia temui merupakan penulis buku, sudah dua buku yang diterbitkan laris di pasaran, memperkenalkan dirinya dengan nama pena. Katanya, sebut saja J.

Bergantian, si ranum tebal minta dipanggil H. Sedang si pelukis, memang seorang pelukis baru. Masih berusaha memasukkan karya lukisnya ke pameran dan galeri seni lainnya.

Mereka lahir di tahun yang sama. Jenis musik favorit sama, beberapa makanan dan minuman kesukaan juga sama. Bahkan memiliki tahi lalat yang posisinya dekat dengan mata.

A Tale of The Tree - Jeno x HyunjinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang