J - O1

1.2K 135 6
                                    

Tak ada yang lebih adil daripada pengadilan Tuhan.

28 - September - 2013

Jevano berlari kecil memasuki halaman rumahnya. Air mukanya terlihat berseri menandakan sedang bahagia, apalagi melihat mobil kedua orang tuanya terparkir rapi di halaman rumah. Senyum Jevano semakin merekah. Tidak sabar memberitahu kejuaraan olimpiade yang Jevano ikuti hari ini. Membayangkan akan di peluk, cium dan diberi ucapan selamat atas keberhasilannya.

Sesampainya di depan pintu rumah, tangan Jevano meraih gagang pintu.

"Adek pinter banget bisa juara satu, ngga kayak Jevano" itu suara bunda

"Loh iya dong, anak ayah si Jendra emang pinter ya nak. Kalo Jevano sih emang anak ayah, tapi nyusahin. beban." itu suara ayah

Tangan Jevano kembali turun mendengar percakapan kedua orang tuanya. Hatinya bagai di tikam belati sangat tajam. Menyakitkan. Jevano mematung di depan pintu, mendengarkan dengan seksama dan pastinya menahan air matanya agar tidak luruh saat itu juga

Perlahan, Jevano mengetuk pintu rumah lalu masuk. Terlihat ayah, bunda dan Jendra sedang duduk di ruang tamu. Seketika semua yang berada di ruang tamu menoleh ke arah Jevano. Dengan sigap, Jevano menyembunyikan medali di belakang punggungnya.

"Dari mana aja kamu?! udah berani pulang terlambat?!" sentak bunda

Jevano menggeleng, namun tidak berani menjawab pertanyaan sang bunda. Jevano takut. Takut dipukul.

"Kalo ditanya itu jawab, bukan malah diem. Kamu bisu?!" ucap Gustomo sambil menatap Jevano tajam.

Jevano yang melihat itu semakin menundukkan kepalanya.

"Maaf ayah, bunda. Jevano tadi ada lomba jadinya pulang telat" jujur Jevano.

"Halah alesan. Lomba lomba omong kosong. Kamu mana mungkin ikut lomba. Kamu ngga seperti Jendra yang pintar, jadi mustahil ikut lomba. Kamu habis main kan?!" ucapan bunda membuat air mata Jevano menggenang di pelupuk matanya.

"Jevano tahan, jangan nangis" batin Jevano menguatkan diri sendiri.

Jendra yang mendengar namanya disebut oleh sang bunda hanya bisa diam, menatap dua orang dewasa yang melempar tatapan tajam ke saudara kembarnya.

"ayah, bunda jangan marahin Jevano" lirih Jendra

Memang, sekolah Jevano dan Jendra berbeda. Jendra dimasukan ke sekolah yang bergengsi, sedangkan Jevano dimasukkan ke sekolah umum yang bisa dibilang sangat biasa saja.

"Jendra diam, jangan ikut campur. Sekarang kamu masuk ke kamar ya nak" suara bunda mendadak lembut. Dengan berat hati, Jendra berjalan ke arah kamarnya. Matanya tak bisa lepas dari saudara kembarnya, khawatir apa yang akan dilakukan kedua orangtuanya kepada Jevano.

Setelah Jendra hilang dari pandangan mereka bertiga, Gustomo menyeret Jevano untuk duduk di hadapannya dan sang istri. Semakin gemetar jiwa raga jevano.

"Udah berani pulang telat?"

Jevano takut takut menjawab

"Jevano tadi dipanggil buat lomba yah, bun"

"terus?"

Jevano bingung 'terus?', apa maksudnya?

"terus apa yah?"

Gustomo melihat itu geram lalu menggebrak meja di depannya sampai kopi yang berada di cangkir tumpah sedikit.

hening

Jevano semakin menundukkan kepalanya. Semakin berkecil hati untuk menunjukkan benda kebangganya.

"Kok malah nanya terus? kamu itu bodoh banget!. Terus dapat juara berapa?!" tanya sang ayah dengan suara tinggi.

Hadiah Untuk Jevano - LJNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang