Pematang sawah pada waktu senja mengingatkanku akan cinta kita. Semilir angin berembus lembut menyapa keheningan hati dan jiwa. Entah mengapa, begitu berat rasanya menjalani hidup setelah kejadian itu.
"Will you marry me?" tanyamu kala itu.
Aku, yang memang pada dasarnya sudah mencintaimu sejak dulu, tanpa berpikir panjang menjawab dengan lantang, menerima lamaran dari lelaki pujaan hati.
Dalam suasana suka cita, kamu sematkan cincin berlian yang katanya sudah dipersiapkan sejak lama. Iya, kamu yang mengungkapkan padaku bahwa hatimu memiliki perasaan yang sama. Itu artinya, cinta kita memang terlahir berpasang-pasangan, tidak bertepuk sebelah tangan.
"Aku, Senja Putra Prasetya, akan bersungguh-sungguh untuk menjadikanmu perempuan yang paling bahagia di dunia ini."
Senyum merekah terlukis dari wajah manismu. Kulit sawo matang yang menambah tingkat kegagahan lelaki membuat hatiku berdecak kagum, bersorak sorai bergembira. Aku memang seorang perempuan yang menyukai lelaki maskulin berkulit agak gelap.
Lihatlah kini, cincin yang tersemat dulu tidak berarti sama sekali. Lamaran yang dulu terekam jelas oleh saksi bisu berupa hamparan sawah yang sama persis keadaannya seperti sekarang ini, dengan padi yang masih hijau. Ah, sudahlah. Mengingat kisah cinta yang harus kandas di tengah jalan membuat hati ini meringis. Pedih rasanya. Terkoyak berkali-kali karena pengakuanmu satu bulan yang lalu.
"Maaf, Kinan. Aku harus bertanggung jawab. Ada perempuan lain yang telah kuhamili dalam keadaan mabuk. Aku tidak sengaja, sungguh! Akan kuceraikan perempuan itu setelah dia melahirkan."
Dengan tanpa adanya rasa bersalah, dirimu mengatakan itu. Bukan, bukan tak mau melanjutkan kisah kita. Cintaku sungguh masih subur merekah, belum layu sama sekali. Namun, setidaknya kejadian ini membuatku mengerti, bahwa kamu bukanlah lelaki setia yang akan mempertanggungjawabkan segala konsekuensi yang ada. Di mataku, kamu tidak lebih dari lelaki kurang ajar yang tak tahu malu.
"Enggak, Mas. Jangan harap kamu bisa menikahiku jika kamu menceraikan Siska!"
Air matamu berderai, punggungmu bergetar hebat. Penyesalan menyelinap masuk ke dalam sanubarimu.
"Tapi aku enggak cinta sama dia, aku cintanya cuma sama kamu, Kinan. Kumohon, percayalah!"
Dengan kamu bersikukuh, sebenarnya cukup membuatku iba. Rasanya sangat ingin aku menghambur ke dalam pelukan hangatmu. Tetapi, aku yakin, pasti rasanya akan sangat berbeda.
"Apapun itu, kita ditakdirkan tidak untuk bersama, Mas. Setelah dari sini, kumohon lupakan aku. Izinkan aku bahagia bersama lelaki lain. Sayangi dan hormati istrimu, jangan sakiti dia sebagaimana kamu menyakiti hatiku dengan pengkhianatan ini."
Sekarang adalah hari yang seharusnya merupakan hari bahagiaku, justru menjadi hari di mana aku terperosok ke dalam jurang kenestapaan.
Takdir, tidak ada yang pernah tahu akan garisnya. Ia seringkali berjenaka atas kisah hidup seseorang. Tak jarang, seseorang yang saling mencintai, justru rasa itu yang akan menyakiti mereka. Menncintai seseorang yang tidak bisa dimiliki adalah suatu ujian yang berat. Akan tetapi, itulah takdir. Pahit manisnya harus diterima dengan lapang dada. Mau atau tidak mau, siap atau tidak siap, suka atau tidak suka. Ia pasti akan memaksa sang aktor untuk menerimanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tugas Dream Lights
Historia CortaTugas Drabble Dream Lights. Jangan dibaca, berbahaya!