Eya..? sembuh kan?

13 4 1
                                    

"GAS!" teriak Raka di koridor rumah sakit

"Gimana Reya? Terus lu kenapa berantakan gini?!" ucap Raka membanjiri pertanyaan pada Bagas yang terdiam, ia terlihat seperti mayat hidup.

Penampilan yang acak-acakan, baju yang basah, kaki dan celana yang kotor akibat berlari, wajah yang bercampur keringan dan air hujan.

"Reya di ICU lagi ditanganin, Eya  kritis" ucapnya parau, air matanya menetes tak tertahankan, kala teringat bagaimana kondisi Reya saat di periksa oleh dokter.

Raka mengehela napas kasar, bagaimana bisa Bagas tidak menghubunginya dan memilih untuk melakukan semua ini sendiri, jarak rumah sakit dan kontrakan yang ia tinggali tidak lah dekat, Bagas harus menempuh sekitar tujuh kilo perjalanan ditambah ia harus membawa Reya dalam pelukannya.

"Nih, gua ada jaket cadangan dan bawahan untung gua punya niat buat bawa ginian, lu ganti baju dulu gua mau urus bagian administrasi"

Raka memberikan sebuah Jaket hitam dan juga celana training panjang berwarna senada yang biasa ia gunakan saat berolahraga.

"Lu beneran mau ngurus administrasinya? Lu tau kan-"

"Lu lupa? gua emang anak yatim piatu tapi bukan berarti almarhum kedua orang tua gua enggak memberikan warisan ke gua, dan mungkin gua lebih kaya dari lu" Raka lantas pergi meninggalkan Bagas yang diam mematung.

"Gua beruntung punya temen kayak lu, Ka. Terima kasih" gumamnya dan segera menuju toilet untuk membersihkan diri.

                               *****

"Gas, Eya gimana?" Ucap Raka saat melihat Bagas yang duduk lemas disamping ranjang Reya.

"Kata dokter, Eya udah kronis Ka. Kanker otaknya udah menggerogoti semua selnya dan penyakit jantungnya udah kronis, Eya ..." ia menangis, kalimat selanjutnya sangatlah susah ia keluarkan, ia bahkan tidak pernah membayangkan Reya akan pergi jauh, dan kini kenyataan menyakitkan ini datang menghampirinya tanpa aba-aba.

Raka hanya bisa menatap sendu Bagas yang tengah terisak tangis, ia mengalihkan pandangannya menuju Reya yang tengah terbujur lemas, rambutnya sudah perlahan-lahan menghilang, wajahnya yang sangat pucat menambah kesan ironis pada gadis kecil tersebut.

Berbagai alat menghiasi tubuh mungilnya, mulai dari ujung kepala hingga ujung kaki semuanya dilingkupi oleh alat-alat medis, mulai dari yang besar hingga kecil, mulai dari yang harus manancap langsung ke tubuh Reya dan ada juga yang terpasang apik di pergelangan tangannya.

                               *****

Sudah seminggu semenjak kejadian dimana Reya sempat kritis, dan sejak seminggu pula Reya harus kehilangan hampir semua rambutnya dan juga fungsi kakinya akibat efek samping dari berbagai obat yang ia harus konsumsi setiap harinya.

Kini Eya Harus menggunakan kursi roda untuk berpergian, ada banyak hal yang membuat ia tidak diperbolehkan oleh keluar dari kamar rawat. Hal itu membuat Bagas dan Raka harus bisa memahami mood gadis kecil tersebut, agar ia selalu merasa nyaman.

Bagas harus bisa menjadi seorang kakak sekaligus menjadi orang tua bagi Reya, mau bagaimanapun Reya tetaplah seorang anak yang membutuhkan kasih sayang dan perhatian dari orang tuanya. tak jarang Reya menanyakan keberadaan orang tuanya, Bagas hanya dapat menggeleng sendu tak kuasa harus memberitahu bagaimana kedaan yang sebenarnya.

                              *****

"Target lu gimana?"

Bagas mengernyitkan alisnya bingung dan menolehkan kepalanya ke arah Raka yang tengah meminum sebotol minuman kaleng.

"Maksud lu?"

"Orang tua lu"

Bagas mengehela napas kasar, lagi-lagi ia harus mengingat kedua orang tuanya.

"Gua udah ngirim pesan buat papa, tapi papa gak pernah bales pesan gua, ntah apa yang dia lakuin sampe-sampe dia lupa punya anak" Bagas tersenyum, namun tersirat kesedihan yang mendalam di balik semua itu.

"Kalau mama gua enggak tau, mama enggak pernah sekalipun jenguk gua sama Eya, ntah apa yang mama lakukan satu tahun belakangan ini, gua merasa seperti yatim piatu Ka. Dulu sebelum papa dan mama cerai gua dan Eya enggak pernah tenang pasti setiap papa pulang kerja mereka berdua bakalan berantem, dan gua sama Eya cuma bisa nangis di pojok kamar dan sekarang ... bukannya kebebasan yang kita dapat, tapi malah sebaliknya. Dan seandainya gua bisa meminta permohonan, gua pingin jadi kakak buat Eya dan Eya sebagai adik gua tapi dengan orang tua yang berbeda, dengan orang tua yang ngerti bagaimana perasaan anak-anaknya"

Bagas hanya bisa tersenyum pilu mengingat semua kejadian yang terbesit diingatannya. Bayang-bayang bagaimana orang tuanya bertengkar bahkan tak jarang untuk melempar berbagai benda ke arah satu sama lain terlintas di pikirannya bahkan adegan dimana ia disiksa turut melintas di otaknya.

"Gua selalu merasa kesialan, setiap gua bahagia pasti ada kesialan yang menimpa gua, itu kenapa gua takut bahagia Ka."

Raka hanya diam mendengarkan ucapan Bagas, pandangannya lurus ke arah taman rumah sakit yang ramai.

"Setelah gua pikir-pikir ternyata jadi yatim piatu enggak buruk juga" ucap Raka terkekeh sembari menyesap minuman kalengnya.

Bagas ikut terkekeh pelan,  dan kembali menegak minuman jus kemasan yang ia beli.

"Terus kalau orang tua lu tiba-tiba dateng dan minta maaf apa yang bakal lu lakukan?"

Bagas tersentak kecil kemudian melemparkan pandangannya pada seorang ibu yang tengah bermain bersama anaknya di taman rumah sakit diiringi dengan gelak tawa tanpa adanya rasa benci yang ibu tersebut pancarkan pada anaknya.

"Bahkan buat membanyangkan mereka ngelakuin itu gua ga bisa Ka," Bagas terkekeh, "tapi kalau emang mereka minta maaf, gua enggak bakal maafin mereka, terutama mama, mama yang selalu menyudutkan Eya karena Eya punya banyak diagnosa penyakit. Orang tua seharusnya mendukung anaknya yang sedang kesulitan bukan menindas mereka dan lebih parahnya menyakiti hati mereka dengan kata-kata yang kasar"

Raka, hanya menghela napas ia tidak bisa menyalahkan Bagas karena ia sangat membenci mamanya, ia benci karena alasan yang mendasar.

"Trus papa lu?" Raka menatap Bagas menanti jawaban laki-laki yang lebih tinggi.

Namun bukannya mendapatkan jawaban, Bagas hanya mengendikan bahunya acuh.

'Surga ada di telapak kaki ibu' kata-kata yang selalu Bagas dengar, tapi bagaimana jika 'ibu' adalah neraka bagi anak-anaknya, apakah kalimat tersebut masih tetap akan mereka layangkan?









Perceraian hanya akan menguntungkan diri mu dan dirinya namun pernahkah kau memikirkan bagaimana perasaan anak-anak mu?

little Happiness for my lil sisterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang