🍡
Orang-orang memanggil gue Lenta. Kadang-kadang Alen. Boleh saja, asal jangan Lentje, kesannya gimana-gimanaaa, gituh ....
Nama gue memang agak aneh dan tidak biasa dipakai untuk anak perempuan. Gue dibesarkan sebagai bungsu dari tiga bersaudara. Kami tinggal di sebuah rumah tua bersama Eyang Putri dan ibu kami.
Bukan nama gue saja yang terdengar aneh. Wajah juga ... maksud gue, tidak bisa dikira-kira dari suku apa. Kulit gue tidak terlalu putih. 'Tan', kalau kata orang bule. Rambut ikal, tapi berwarna kemerahan, sementara bentuk mata ini seperti bulan sabit, dengan lingkaran cokelat muda yang warnanya nyaris sama dengan warna kulit.
Gue masih asyik menganguk-angguk ikut dentuman musik dengan ear-piece di telinga. Sedang mendengarkan dan menyimak syair lagu original sound-track suatu anime Jepang, 'XXXholic'. Gue harus hafal sebelum minggu ini berakhir. Itu tugas kelas ekstrakurukuler dari senior kelas XI-3 yang bernama Leon.
Namun sebelum lagu itu berakhir, pintu kamar sudah digedor-gedor. Seseorang bersuara keras dari balik pintu. "LENTAAAA! Wake-up! Udah jam setengah tujuh, taukkk? ... Lo jadi mau ikut mobil gue, gaaakk?"
Selesai berkata begitu, gue yakin orang itu langsung menjauh. Nah, itu mbak yang sulung. Namanya Zizi. Wajahnya lebih ajaib lagi dari gue. Mungkin karena itulah ia banyak dikontrak sebagai model majalah dan iklan TV.
¤¤¤
Gue keluar kamar dan langsung ke ruang makan. Di situ, di sekitar meja sudah ada Zizi, dan Eyang Putri.Gue bahkan belum sampai di depan mereka ketika Mbak Zizi bersuara dengan nada mengomel, "Hurry up, Lenta! ... I have to be on the photo-set at 9 pm sharp!(1) Kalau jam tujuh kamu belum beres, aku tinggalin, lhooo!"
"Tinggalin aja. Aku bisa, kok, ke sekolah sendiri!" gerutu gue sambil duduk menghadapi sepiring nasi goreng yang disediakan Eyang Putri.
"Beneran?"
"Iya!"
"Gak nangis?"
"Ih, ngapain?!"
Kling, kling, kling!
Sebuah bel kecil digoyang-goyangkan di hadapan kami berdua, dan Mbak Zizi langsung 'mingkem'. Itu Eyang. Kebiasaan wanita tertua di rumah itu sejak kami masih kecil adalah membunyikan lonceng kalau kami lagi ribut satu sama lain. Rasanya seperti ada tukang es atau penjaja kue lewat mondar-mandir di dalam rumah ... apalagi karena memang gue, Mbak Zizi, dan mbak yang satu lagi kerap-kali ribut.
Bukan berkelahi, melainkan ribut saja satu-sama lain entah untuk urusan apa, persis seperti beberapa ekor kucing jantan yang sedang rebutan betina di atap rumah. Demikianlah yang terjadi saat kakak gue yang satu lagi muncul.
Panggilannya Liliz. Mbak gue itu bisa jadi yang tercantik di antara kami bertiga. Mungkin kecantikannya itu berasal dari genetik bangsa Eropa yang menurun padanya. Walau begitu, Mbak Liz itu paling halus dan pemalu."Lentaaaa," katanya dengan nada manis, "really, Dear, it 's un-appropriate for you to make noises in such an early hour like this!(2)"
Sementara membelai rambut gue, ia mengangguk dan tersenyum manis pada Eyang.
"Duduk, Nduk. Sarapannya sudah siap semua," ujar Eyang dengan riang. Ia selalu bersemangat kalau melihat ketiga cucunya berkumpul, walaupun kami lebih sering ribut daripada duduk manis.
Mbak Liz menyendok nasi goreng ke piringnya, lalu duduk di sebelah. Sehingga gue berada di antara dia dan Mbak Zizi.
"Jangan sok kalem, Mbak! Kau sendiri cuma kalem kalau di depan Eyang. Kalau di luar ... kayak waktu Mbak Liz sama si Galvin kemarin sore. Mbak ribut ketawa-ketiwi, seperti apaan!" sungut gue sambil menyendok nasi goreng.
Mbak Zizi tercekikik, lalu menyahut, "Seperti apaan emangnya, Lenta?""Seperti ... Neng Kunti kejepit pintu! Hahaha!"
Sekilas memang Mbak Liliz bisa dengan mudah di-make-over untuk peran kuntilanak di sinetron. Rambutnya hitam legam lurus menjuntai lebat di punggung, sedangkan warna kulit gadis itu terlalu pucat bagi orang Indonesia kebanyakan.
Gue meneruskan di sela-sela tawa, "Untung aku masih lihat Galvin kemarin itu. Kalau nggak, bisa kusangka be-- ... akhh uhk, hhh!"Ternyata Mbak Liz menyumpali mulut gue dengan timun selagi masih bicara. Sontak gue melepehkan timun itu cepat-cepat, lalu mengambil kain serbet terdekat dan melemparkannya ke arah Mbak Liz. Kakak gue itu lantas mengangkat tangan untuk menepis. Yang terjadi malah kain itu berbelok ke arah Mbak Zizi dan jatuh di atas nasi gorengnya. Mbak Zizi berteriak ngomel.
Beberapa detik kemudian kami bertiga sudah melantai sambil tertawa-tawa, tidak seperti tiga gadis manis, tapi seperti bocah yang berkelahi berebut kelereng. Eyang sudah berkali-kali membunyikan lonceng kecil di tangannya. Kain serbet tadi sempat 'nyangsang' di kepala gue diperebutkan oleh mbak-mbak. Eyang pun sibuk menegur kami dengan suaranya yang mendayu-dayu khas Jawa Tengah tempat Beliau berasal.
Kami baru benar-benar berhenti ketika terdengar seruan galak dari arah pintu depan. Dari lantai sama-sama menengadah. Kepada seorang wanita bersepatu hak tinggi dan berbusana trendi.
Dengan suara marah ia berseru, "Hentikan! Kirmizi, Pelita, Talenta! STOP it!"
Kami bertiga mingkem. Lalu bangkit dari lantai sambil masih sedikit-sedikit cekikikan. Itu Arumi wanita yang berdiri di hadapan kami. Atau yang kami panggil bersama, 'Mama'.
(bersambung)
catatan kaki
--------------------(1)Cepat, Lenta! ... Aku harus di tempat pemotretan jam sembilan tepat!
(2)Sungguh, Sayang, sangat tidak pantas kau membuat ribut sepagi ini!(visual for Lenta : Mina Hisatsune)
KAMU SEDANG MEMBACA
TEROR TIGA DARA (versi POV1)
Teen Fiction(telah diterbitkan o/ Pena Baswara Publisher. Oleh Author di-up ke WP dalam versi POV 1 Lenta. Di novel cetak, ditulis dalam POV 3.) Tiga bersaudari Kirmizi, Pelita, dan Talenta bukan saja harus menghadapi misteri karena rupa mereka yang MINUS kemir...