Bab 2

80 36 6
                                    

🍡

Gue melanjutkan pertanyaan, tidak peduli Mbak Liz yang kini mulai terisak pelan. "Siapa kira-kira yang ngisengin Mbak kayak 'gitu? Apa Mbak lagi berantem sama model lain? Siapa aja yang tahu tempat Mbak naruh tas?"

Eyang menyela mengatakan supaya gue tidak mencecar dulu. Gue memutar bola mata, kesal. Tidak suka kalau suatu masalah diratapi seperti ini. Akhirnya gue putuskan untuk keluar saja, mendekati Galvin dan Ruda yang sedang berbincang. Agaknya masih membahas kepala ayam kiriman itu.

"Lalu, sekarang di mana kepala ayamnya?" Kudengar Galvin bertanya.

"Yah, kami buang. Kenapa?" Ruda balik bertanya.

"Wahh ... seharusnya jangan dibuang. Biar bisa dijadikan alat bukti, atau setidaknya petunjuk untuk mencari pelakunya."

"Petunjuk? Ha ha ... kok, seperti main detektif-detektifan?"

Gue menimbrung dan berkata. "Mungkin cuma orang iseng. Atau cuma orang yang ngiri sama Mbak. Iya, 'kan?"

Ruda mengiyakan, tetapi Galvin menggelengkan kepala. Ujarnya, "Iseng, masa' sampai seperti itu?"

Mbak Liz keluar dari kamar, dan tampak jelas ia cukup terpukul

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Mbak Liz keluar dari kamar, dan tampak jelas ia cukup terpukul. Mbak gue yang satu itu memang paling halus perasaannya. Beruntung kekasihnya, si Galvin itu cukup sabar menghadapi Mbak yang terlalu sering menangis ... tidak seperti gue.

Terdengar Galvin bertanya lagi pada Ruda. "Masih ingat di mana kalian membuang kepala ayamnya? Siapa tahu dari barang itu kita bisa mengira-ngira siapa pelakunya."

Gue bereaksi jijik. "Mau diambil lagi kepala ayamnya? ... Iiihh! Jorok ah, Galvin!"

Ruda juga terlihat kesal, dan berkata lagi. "Waktu itu gak ada yang kepikiran sampai ke situ! ... Lagipula, tidak higinis menyimpan barang berdarah-darah begitu!"

Galvin mengejar lagi. "Lalu, tasnya Zizi ke mana?"

Ruda menjawab, ada nada enggan di suaranya. "Yah, masih di lokasi ... tadi dititipkan dulu ke crew untuk dibersihkan, cuma dompet dan barang lainnya yang kami bawa pulang."

Terdengar Liz menyela dengan suaranya yang bernada sedih, "Sudah ... sudah! Tolong jangan dibicarakan dulu ... nanti saja. Tunggu Mbak Zi tenang ...."

Galvin meraih tangan Mbak Liz dan merangkul pundaknya. Ujarnya, "Iya, iya .... Maaf, Liz. Aku gak maksud membuat kalian makin panik. Yahhh, nanti kalau semua sudah lebih tenang, tapi masalah ini memang tidak boleh dianggap sepele."

"Aku mau ke dapur membuat teh hangat lagi untuk Zi. Lenta, kamu bantu Mbak, ya," ucap Mbak Liz setelah beberapa saat, lalu tersenyum manis pada para pria. "Kalian mau juga?"

Ruda menjawab, "Of course, Cantik. Mmm, kalau senyum begitu, lo cantik banget. Malah lebih cantik dari Zi. Kenapa gak ikutan jadi model juga?"

Galvin tampak mengerutkan kening, dan Mbak Liz pasti juga tidak mau menjawab pertanyaan macam begitu di saat seperti ini. Namun, gue tidak dapat menahan diri untuk bercanda. "Gak akan! Mana mau Mbak Liz jadi seperti Mbak Zi, apalagi resikonya dikirimin kepala ayam!"

Galvin melotot, sementara Mbak Liz menggeleng-geleng kepala sambil menarik tangan gue ke dapur. Di luar dugaan Ruda malah tertawa.

Belum gue dan Mbak Liz sampai ke ambang dapur, terdengar sebuah mobil diberhentikan kasar depan rumah kami. Remnya berdecit kuat. Pintunya dibuka dan ditutup seolah tergesa-gesa dan selagi Mbak Liz mengambil cangkir untuk membuat teh, dua orang masuk ke dalam

"Di mana Zi? Dia ... dia diteror siapa?" tanya seseorang dengan nada panik. Gue tak perlu menoleh untuk melihat siapa yang datang. Dari cara menghentikan mobil saja gue tahu itu Arumi-Mama.

Gue baru menoleh ketika mendengar suara berat bernada khas, diucapkan seseorang yang menyusul. "Aiihh ... ada apaan siy, di sindang? Kenapa rame begindang di ruminah yeiy, Rumi?!"

Itulah Maximilian. Orang yang gue panggil Papa Mian. Menyusul masuk dengan langkahnya yang gemulai. Yang kami ketahui, pekerjaannya dulu adalah penari latar di panggung-panggung pentas.

(Bersambung)

(image : Darrel Ferhostan (androgini male model) as Maximilian)

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

(image : Darrel Ferhostan (androgini male model) as Maximilian)

TEROR TIGA DARA (versi POV1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang