Bab 4

66 31 9
                                    


🍡

Mungkin memang kejadian itu tidak separah yang ditakutkan. Cuma perkara iri hati atau persaingan di tempat kerja. Sehabis kejadian itu, Papa Mian–Maximilian serta-merta menyerahkan kartu-kreditnya untuk dipakai Mbak Zi membeli tas tangan pengganti yang rusak dimasuki kepala ayam.
   
Dalam beberapa hal Papa Mian memang terlalu memanjakan kami bertiga. Gue bahkan sampai berkata gak apa kalau orang mau memasukkan satu sampai sepuluh kepala ayam ke tas gue ... asal Papa Mian mau membelikan tas branded yang baru!
   
Eyang yang masih kuatir tidak mau membiarkan Mbak Zi pergi ke mall sendirian. Beliau minta gue turut menemani.
      
“Kalau begitu, gue sekalian ikutan ya. Galvin mau jemput gue di Senayan sore ini. Jadi dari mall gue bisa langsung ke situ,“ ujar Mbak Liz.
          
“Kenapa gak dia aja yang disuruh nyamperin Mbak ke mall?“ usul gue.
         
Mbak Liz tampak berpikir, lalu mengatakan kalau itu ide baik. Ia berkata akan menghubungi Galvin saat kami di mall.
  
“Oh, yaa, speaking about phone. I remember have to phone my agency to confirm my schedule!(1)“ tukas Mbak Zi tiba-tiba.
    
Ia lalu mengaktifkan hp-nya dan memulai hubungan. Cukup lama menunggu di sambungan telepon, sampai akhirnya sekitar lima menit kemudian ia berkata, “Oh, halo, Ruda .... Kok, si Mbak Dilla gak ada di tempat melulu? ... Sampaikan ke dia, yak? ... No, no .... I am free today. I am just about going to a mall with my sisters .... Yesss, and you know .... To my favorite coffee-shop ....(2)“
   
Akhirnya Mbak Zi selesai melakukan kontak teleponnya. Sepanjang dua hari setelah kejadian itu, Mbak Zi memang tampak lesu dan pucat, tapi hari ini ia nampak lebih segar. Mungkin karena akan membeli tas branded baru.
 

Kami lalu berangkat dengan mobil, dengan gue yang mengemudi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kami lalu berangkat dengan mobil, dengan gue yang mengemudi. SIM boleh 'nembak'. Walaupun begitu, dibandingkan dengan Mbak Zi maupun Mbak Liz, gaya menyetir gue paling stabil. Kami berangkat ke mall di pusat kota Jakarta.

Selama perjalanan Mbak Zi masih bolak-balik menghubungi agency-nya. Kudengar Mbak Liz bertanya mengapa belum kunjung rampung urusannya.
        
I can't get in touch with my direct manager Dilla,“ jawab Mbak Zi berkata kalau ia tidak bisa terhubung dengan menejernya. Sehingga sejak tadi bolak-balik menelpon agensinya. “Dilla gak bisa dihubungi. Mungkin Ruda belum kasih pesan ke dia."

“Mungkin si Ruda lupa," ucap gue dari belakang kemudi.

Yes, perhaps."
("Ya, mungkin.")
       
“Jelas. Semua cowok, ‘kan memang lupaan.“
       
“Nggak juga, lah, Lenta. Galvin gak begitu,“ sanggah Mbak Liz.
    
“Cieee cieee cieee,“ goda gue, “ngebelain, nih yeee!“
  
Mbak Liz melempari dengan segumpal tissue. Gue menjerit, meneriakkan kalau itu bekas lendir hidungnya. Kontan Mbak Zi berseru menyuruhku diam karena mengganggu pendengarannya di telepon.
    
  
Akhinya kami sampai di parkiran mall. Gue turun mobil terakhir menyusul mbak-mbak. Keduanya melangkah ke arah pintu masuk utama mall. Gue sudah akan berteriak meminta mereka menunggu, tapi tidak jadi karena terdengar deru kencang sebuah motor, yang kemudian direm dekat sekali dari tempat Mbak berdiri.
     
Mbak Liz menjerit karena kaget, tapi tidak ada yang bisa bersuara lagi ketika pengemudi berhelem hitam itu menyiramkan cairan kepada Mbak Zi. Ia lalu langsung tancap gas meninggalkan Mbak Zi yang basah.
  
Baju Mbak Zi basah dari bahu hingga ke pinggang. Beberapa tetes jatuh juga di roknya. Cairan itu warnanya mengungu, dan baunya anyir seperti besi berkarat.
         
Mbak Zi tidak dapat mengeluarkan suara, hanya mengatupkan mulutnya dengan kedua tangan. Yang menangis dan menjerit adalah Mbak Liz. Gue juga menjerit dan merasakan tubuh ini sedikit bergetar.
  
       
Segera saja Mbak Zi jatuh terduduk. Beberapa orang datang mengerumuni kami, kebanyakan mengira ia terserempet motor tadi. Padahal bukan begitu kejadiannya. Mbak gue hanya disiram dengan darah segar.  
    
(bersambung)
  
   
   
(1) omong-omong soal telepon, aku ingat harus menghubungi agensiku untuk konfirmasi jadwal!
(2) Tidak, tidak .... Aku bebas seharian. Aku cuma akan pergi dengan adik-adikku ... Yaaa, dan ... kau tahu ... Ke kedai kopi favorit-ku ....

TEROR TIGA DARA (versi POV1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang