"Bunda, ini Aran. Ayo bangun Bunda."
Aran menggenggam tangan bunda nya dengan sangat erat. Sudah satu tahun lama nya sang bunda koma. Ia begitu merindukan bunda nya, ia merindukan mata teduh bunda nya, senyuman manisnya, ia sangat merindukan semua yang ada pada diri sang bunda.
"Aran kangen bunda, ayo buka mata bunda."
"Bunda.." tangis yang sedari tadi Aran tahan akhirnya luruh juga, isak tangis nya menggema di ruangan yang selama satu tahun ini menjadi saksi bisu betapa rapuhnya lelaki itu.
"Bunda pasti bangun, percaya sama aku."
"Cuma bunda yang aku punya sekarang, aku gak mau kehilangan bunda Chika."
Orang yang di panggil Chika itu segera menarik Aran ke dalam dekapannya. Ia bisa merasakan kesedihan yang di rasakan oleh kekasihnya itu. Sejauh ini, Aran begitu kuat, Aran hanya akan menangis ketika berada di dalam ruangan bunda nya, selain itu Aran tak pernah memperlihatkan betapa rapuhnya dia.
Chika berusaha menahan air matanya ketika di hadapan Aran, ia tak ingin membuat Aran semakin sedih. "Aran kuat ya sayang, bunda pasti sembuh."
"Satu tahun Aran nunggu bunda. Cepet bangun ya bunda, liat Aran bun. Dia rapuh, dia butuh bunda, dia ga baik-baik aja. Cepet buka mata bunda." lirih Chika dalam hati.
"Aran belum makan siang ya?"
Aran menggeleng lemah.
Chika tersenyum tipis. Jika tidak diingatkan Aran tak akan makan, lihatlah, lelaki berwajah khas korea ini tubuhnya semakin hari semakin kurus. Chika sangat tidak tega melihatnya.
"Makan ya? Aku suapin."
Lagi-lagi Aran menggeleng. "Aku kangen disuapin Bunda." Aran tersenyum miris ketika mengingat bunda selalu menyuapi nya sekalipun dia sudah sebesar ini.
"Dulu kalo kamu gak makan, bunda sedih gak?"
Aran mengangguk.
"Sekarang juga bunda pasti sedih liat putra kesayangannya nya gak mau makan. Kamu gak mau kan liat bunda sedih?"
"Gak mau."
"Yaudah sekarang kamu makan, kamu kan harus sehat, biar kamu bisa dampingin bunda terus."
Akhirnya Aran mengangguk.
Chika mulai menyuapi Aran sesekali ia melihat tatapan Aran yang begitu kosong. Hal itu membuat dada Chika serasa di pukul-pukul, sesak.
Kecelakaan yang menimpa Shani satu tahun yang lalu benar-benar membuat semuanya berubah menjadi 180 derajat. Aran yang tidak seceria dulu, Aran yang rapuh, Aran sudah seperti raga kehilangan jiwa nya, kosong. Dokter pun sudah tidak bisa berbuat banyak, semuanya hanya di serahkan kepada tuhan saja.
Aran telah selesai dengan makan siang nya, ia menatap mata Chika dengan intens. "Makasih banyak Chika, makasih udah mau nerima orang rapuh kaya aku."
Chika menggeleng cepat. "No! Sedih itu wajar sayang. Jangan ngomong gitu ah."
Aran segera menarik Chika ke dalam pelukannya, ia sangat bersyukur memiliki kekasih seperti Chika. Chika selalu ada untuk nya ketika suka maupun duka, Chika juga yang menemani nya selama setahun ini, Chika adalah alasan Aran untuk tetap bertahan dikala semua keadaan memaksa nya untuk mundur.
**
Hari senin, hari kembali nya ke sekolah. Seperti biasa, Aran bangun pagi-pagi sekali untuk melaksanakan solat subuh, setelah itu bersiap untuk pergi ke sekolah.
Aran menarik laci meja belajar nya untuk mencari pulpen, namun yang ia temukan malah foto sang ayah. Aran menarik kedua sudut bibirnya membentuk senyuman.
Aran mengusap pelan foto itu seraya menunduk dalam, ketika ia melihat foto ayah nya, ia selalu merasa bersalah karena tidak bisa menjaga bunda nya dengan baik, ayah pasti kecewa kepada nya.
"Maafin Aran yah, Aran gagal jagain bunda." lirihnya.
"Ayah pasti kecewa ya sama Aran?"
Gracio Harlan, suami dari Shani Indira Natio, dan ayah dari Atharan Natio Harlan. Gracio sudah lebih dulu pergi meninggalkan Aran dan Shani. Gracio meninggal ketika Aran berumur 8 tahun, hal itu sangat membuat Aran dan Shani terpukul. Tapi, terlepas dari semuanya, mereka juga harus tetap meneruskan hidupnya. Aran adalah anak tunggal, dan sekarang yang ia punya hanyalah bunda nya. Itulah kenapa ia sangat terpukul ketikan tau bundanya koma.
Setelah puas memandangi foto Gracio, Aran segera mengembalikan foto itu ke tempat semula. Aran menghela nafas beratnya, baru kemudian beranjak untuk memakai sepatu nya.
**
Aran dan Chika berjalan beriringan menuju kelas, wajah dingin Aran membuat siapapun segan untuk menyapa nya. Sedangkan Chika, gadis itu tak henti-hentinya tersenyum untuk membalas sapaan dari murid yang menyapa nya.
"Ran muka nya jangan gitu ihh." tegur Chika seraya menyenggol lengan Aran.
"Gimana?"
Chika menghembuskan nafas lelah, terkadang ia rindu dengan Aran yang dulu. Sudah satu tahun ini ia merasa kehilangan Aran.
"Aku ke kelas ya Chik, kalo ada apa-apa kabarin aku." Aran mengusap puncak kepala Chika pelan.
Chika hanya menatap nanar punggung Aran yang sudah menjauh. Tak lama dari itu, ia merasakan tepukan di bahu nya.
"Tugas Biologi udeh?"
Chika pun menoleh, mendapati Dey yang menatap ke arah nya.
Chika mengangguk. "Udah, kenapa? Mau liat?"
Dey hanya menyengir, Chika sepertinya sudah sangat paham dengan sifatnya itu.
"Peka bener lo Chik, gue jadi malu." Dey menyenggol lengan Chika malu-malu.
"Baru tau orang kaya lo punya malu."
Dey seketika merubah mimik wajahnya. "Sialan."
**
Bel istirahat telah berbunyi, tapi Aran seolah tuli. Cowok itu masih memantul-mantul kan bola basket ke tanah, pandangannya hanya kosong ke depan. Bahkan, teman sekelasnya sudah pergi meninggalkan lapangan, yang tersisa kini hanyalah Aran.
Aran seperti terlihat raga tanpa jiwa. Tubuhnya semakin hari semakin kurus, tatapan nya selalu kosong. Pengaruh Shani di hidup Aran sangatlah besar, lihatlah Aran sekarang? Seperti manusia yang kehilangan arah, karena bunda nya adalah rumah dan juga tempat pulang.
Ollan menatap Aran dengan tatapan iba, ia tidak bisa berbuat apa-apa, Aran sangat membutuhkan bunda nya. Mengapa orang sebaik Aran bisa mendapatkan cobaan seberat ini? Ollan mengeratkan topinya terlebih dahulu sebelum bergerak menghampiri Aran.
"Ran, kantin yuk. Lo pasti belum makan kan?"
Aran tersenyum tipis. "Duluan aja Lan, tuh disana udah ada Mirza. Nanti gue nyusul."
"Ran, jangan ngerasa sendiri, kita ada di sini. Tante Shani pasti sembuh, gue yakin itu." Ollan menepuk bahu Aran seakan menguatkan.
"Makasih Lan, gue cuma minta doa sama kalian supaya bunda cepet sembuh."
"Setiap hari gue selalu berdoa, lo percaya sama takdir dan mukjizat tuhan kan?"
Aran mengangguk seraya tersenyum. "Gue percaya. Makasih Lan."
"Simpen rasa terimakasih lo. Sekarang lo liat ke belakang, bidadari dari tadi nungguin lo." kata nya seraya mengangkat dagunya seolah memberi kode.
Tbc
Jangan lupa vote sama komen nya!
See you👍
KAMU SEDANG MEMBACA
ARAN (Selesai)
Teen FictionKetika cinta yang membuat aku menjadi lebih kuat. BJ Habibie pernah berkata: Tak perlu seseorang yang sempurna, cukup temukan orang yang selalu membuatmu bahagia dan membuatmu berarti lebih dari siapa pun. Dan kebahagiaan aku adalah kamu.. Yessica...