LEMBAR KEDUA

6 3 5
                                    

Daegu, 23 maret 2009


Gelap. Jam sudah menunjukkan pukul 22:49 dan kedua mata serupa galaxy itu masih belum terpejam padahal, ini sudah lewat dari jam tidurnya. Tidak nyaman menjadi alasan utama.

Bagaimana tidak? Bila saat ini ia hanya tidur di lantai dingin tanpa sehelai kain yang menemani pun dengan gudang sebagai latarnya.

Ini bukan kali pertama,kedua atau ketiganya berada disini namun tetap saja ia tak bisa terbiasa. Rasanya menyesakkan belum lagi ia harus berbagi tempat dengan makhluk menjijikan seperti tikus dan kecoak. Meski keadaannya tak bisa dikatakan lebih bersih dari kedua makhluk di atas tapi tetap saja ia adalah manusia. Seorang gadis.

"Huft..." menghela nafas Si gadis memutuskan bangkit. Tubuhnya ia bawa mendekati jendela kaca di hadapannya memutuskan untuk melihat bintang-bintang dan bulan yang sedang memamerkan keindahannya. Sedikit iri sebenarnya. Ia juga ingin bersinar terang seperti bulan di atas sana.

"Ini tidak adil!" Monolognya. Entah kenapa perasaan sebalnya kembali muncul.

"Aku kan tidak berbuat jahat. Aku hanya menolong adik, lalu kenapa aku dihukum?!" Lanjutnya sedikit berteriak.

Memorinya berputar membawanya kembali pada saat Sang adik jatuh pingsan akibat demam yang semakin tinggi yang tentu saja membuat ia panik dan memutuskan untuk membawanya ke klinik dekat panti tanpa berpikir panjang, tanpa memikirkan apa yang akan menimpa dirinya begitu pulang nanti.

Dan betul saja. Ia mendapat tatapan tajam dari beberapa pengasuh begitu pulang dengan Aeri berada dipunggungnya, dan tanpa aba-aba salah seorang pengasuh menarik tangannya membuat keseimbangannya goyah dan berakhir jatuh bersama Sang adik yang ia gendong tadi.

Belum sempat beridiri tangannya kembali ditarik, kali ini lebih keras berhasil membuat ringisan kecil keluar dari bibir cherrynya. Ia diseret dengan makian dan hinaan yang membuat tak hanya telinga namun juga hatinya terasa sakit.

Ia berakhir di gudang. Tentu saja setelah beberapa tamparan yang dilayangkan pada wajah tirusnya sedangkan Sang adik dibawa kembali ke kamar.

Alasannya sederhana. Ia menggunakan seluruh uang hasil jualan rotinya bersama Sang adik untuk membayar biaya pengobatan di klinik tadi, padahal itu hasil jerih payahnya sendiri.

Harusnya mereka menyalahkan diri sendiri, yang memaksanya dan Sang adik berjualan roti sejak pagi meski sudah ia beri tahu pasal Aeri yang sedang sakit. Tapi mereka tetap saja tidak menghiraukan.

"Menyebalkan..." Si gadis kembali bergumam. Ia merasa bangunan tua ini tak bisa lagi dikatakan sebagai rumah. Tidak untuknya dan tidak untuk anak lain. Bahkan penggilan 'pengasuh' tak lagi pantas disematkan pada para manusia serakah itu.

Mereka hanya orang-orang rakus yang tidak peduli dengan keadaan anak-anak di panti ini. Bukannya merawat mereka malah menyuruh anak-anak panti untuk berjualan roti dari pagi hingga petang, lalu uangnya akan mereka ambil untuk kepentingan pribadi tanpa memikirkan bagaimana nasib anak-anak.

Bukan hanya itu, bila uang yang dikumpulkan tidak mencapai standar yang ditetapkan maka akan ada hukuman yang diberi. Entah itu cambukan, tamparan, pukulan, tendangan dan siksaan fisik lainnya. Belum lagi kata-kata kasar dan hinaan yang tak sepantasnya diperdengarkan bagi mereka.

Ia lelah dengan kehidupan disini tapi ia tak bisa berbuat apapun. Ingin kabur namun itu sama saja dengan lompat ke jurang secara sukarela. Lagipula siapa yang mau repot-repot mengurus anak yatim piatu sepertinya saat orang-orang juga sibuk mengurus hidup mereka sendiri.

NakupendaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang