LEMBAR PERTAMA

11 3 4
                                    

Seoul, 25 Januari 2021


Nyanyian burung-burung mulai terdengar, seakan menyapa mentari yang terlambat menampakkan dirinya akibat tangis awan sejak semalam.

Suhu dingin yang menyapa kulit seaakan memberi perintah untuk terlelap lebih lama lagi. Pun, dengan kedua insan dalam ruangan minimalis itu, keduanya masih setia bergelung dalam selimut tebal dengan netra yang tertutup rapat.

Damai sekali. Hingga suara dari benda persegi di atas nakas menghampiri memecah keheningan di antara keduanya dan mengganggu tidur salah satunya. Netra serupa bulan sabit itu mulai bergetar sebelum akhirnya menampakkan dua kelereng cokelat yang bersembunyi apik di dalamnya.

Sang wanita terbangun. Tangannya terangkat mengambil asal suara, rupanya Sang ibu yang menghubungi katanya beliau akan datang sore ini yang hanya ia balas dengan kata 'baiklah' serta 'hati-hati di jalan' sebelum kemudian kembali meletakkan benda persegi itu di atas nakas.

Tatapannya beralih ke manusia lain di hadapannya yang masih setia memejamkan mata.

Tampan.

Satu kata itu langsung terlintas di otaknya membawa senyum pada wajahnya yang semakin tirus.

Ah, jika pria dihadapannya ini mendengar pemikirannya beberapa detik lalu, sudah dapat dipastikan ia akan kembali di hujani kata-kata narsis seperti 'betapa beruntungnya dirinya' dan kalimat-kalimat lain yang akan membuatnya pusing tujuh turunan.

Sedikit terkekeh dengan pemikirannya sendiri kini pandangannya ia bawa kembali pada manusia di depannya dengan tangan yang mulai bermain dengan surai Sang pria.

"Biru ya... tidak buruk." monolog Sang wanita sambil tersenyum.

Ia masih setia mengelus surai biru di depannya merasakan sensasi lembut yang menenangkan sebelum tangannya tiba-tiba bergetar lalu jatuh tanpa aba-aba.

Senyumnya luntur, tatapannya berganti senduh.

"Ah Sayang sekali, padahal tadi cukup menyenangkan. Rambut oppa sangat lembut." Satu desahan lolos dari bibir tipis yang kian memucat itu juga netra serupa bulan sabitnya yang mulai berkaca-kaca, pandangannya ia angkat sejenak berusaha menghalau buliran crystal bening yang ingin keluar.

"Waktu benar-benar berlalu dengan cepat yah oppa. Dua tahun kita... sudah selama itu." Bibirnya ia gigit lebih keras takut bila ada isakan yang lolos dan membangunkan Pria bersurai biru di depannya, tak tahu saja bila Pria itu memang sudah bangun bahkan mendengar semua monolognya.

Menelah ludah Sang pria berusaha tetap pada posisinya-berpura-pura tidur - terlalu takut melihat pemandangan di depannya. Namun kalimat selanjutnya dari Sang wanita sukses melunturkan kegiatan actingnya.

"Maafkan ak-" kalimat Sang wanita terpotong, sebuah kecupan mendarat di bibirnya.

Aah, rupanya Prianya sudah bangun dan lagi-lagi menangkap basah dirinya menangis.

"Jangan, kumohon jangan pernah mengatakannya, aku tidak suka mendengarnya." Sang pria berucap memandang lekat kedua mata berair di depannya dengan kedua tangan yang menangkup wajah Sang wanita.

"Bila ada yang harus minta maaf disini, maka itu adalah aku. Ak-" Belum selesai kalimatnya ia ucapkan mulutnya sudah dibungkam lebih dulu oleh kedua tangan wanita cantik di depannya. Sang wanita menggeleng keras tak terima dengan apa yang akan diucapkan oleh Sang pria.

"Tidak. Oppa tidak bersalah. Tidak kepadaku ataupun orang lain." Sang wanita kembali berucap kali ini gantian dirinya yang memandang Sang pria lekat.

NakupendaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang