#03. Akur

2 0 0
                                    

Begitulah hari-hari ku berjalan selama hampir setengah tahunku di SMA. Sepertinya tiada hari tanpa keluhan yang keluar dari mulutku karena nya.

"Berantem mulu, awas ntar jatuh cinta" Nisa menggodaku.

Mungkin bukan sebuah godaan, mungkin sebuah peringatan.

Tiada hari tanpa perdebatan serta saling lempar kesalahan antara aku dan dia. Asal kalian tau, selain di kelas kami juga tidak akur di ekskul. Biar ku ceritakan.

Sejak hari pertama sekolah di SMA ini, ekskul yang menarik perhatianku adalah cinematografi. Selain menulis, aku juga suka menonton film. So, aku tertarik untuk membuatnya. Ruangan cinema sendiri ada di sebelah persis ruang osis. Hari-hariku di cinema adalah yang paling menyenangkan. Sebab tidak ada laki-laki yang selalu membuatku kesal disana, sampai di suatu pertemuan, aku melihatnya sedang duduk disana berbincang dengan seniorku. Mataku menyipit mencurigainya.

"Ngapain si tengil disini" batinku.

Saat pertemuan dimulai, seniorku memperkenalkannya sebagai aktor yang akan bermain di film yang akan kami produksi.

"Dari sekian banyak cowo di sekolah ini kenapa kudu si tengil yang jadi aktor utama? Muka pas-pas an juga. Kenapa ga cowo lain dehh? Banyak yang lebih ganteng." Gumamku.

"Kenapa keel?" Tanya Riska. Teman sekelasku yang kebetulan masuk ekskul cinema juga.

"Ngga, gapapa. Hehe"

💌

Bisa ditebak bagaimana hari-hariku selanjutnya di cinematografi. Beruntungnya ketika sedang take adegan dia bisa sangat profesional, tapi ketika semua selesai dia akan mulai mengusili ku lagi.

"CUT" teriak seniorku sebagai sutradara.

"Keel, direct pemain buat scene selanjutnya ya, kasih tau blockingan nya juga, gue mau discuss sama kameramen dan editor dulu."

"Siap kak" jawabku sigap segera menghampiri si tengil.

Dia yang melihatku berjalan ke arahnya kemudian berkata,

"Minum mana minum nih? Tissu dong, keringetan nih, masa habis take aktornya ga dilayanin sih."

"Gausa manja, punya tangan-kaki lengkap juga, ambil sendiri, masih bagus disiapin." Kataku dengan ketus.

"Yeeuu, selain belajar bikin film tuh harusnya lu juga belajar memperlakukan aktor dengan baik." Katanya sembari mengambil sendiri botol minum kemasan dalam kardus.

"Nih, habis ini scene yang ini ya, udah hafal belom lu? ntar masuknya dari sana, ga usah jauh-jauh biar ga kelamaan, nanti stop disini, ngadepnya serong baru ntar lu muter dikit, dikit aja, jangan over. Baru mulai dialog lo." Aku menjelaskan tanpa memperdulikan ucapannya.

"Iyeee, bawel amat."

mataku melototi nya.

Ia memonyongkan bibirnya sambil membuat gestur yang mengisyaratkan bahwa 'aku cerewet'.

"Keel, sini bentar dong." Panggil sutradaraku.

Beruntung saja ada yang mendistrack, kalau tidak aku yakin sudah mencabik-cabiknya.

💌

Hingga suatu hari, dimana kami harus take adegan terkahir yang memakan banyak waktu, dan evaluasi selesai pada pukul 17.30 sore.

"Udah dijemput keel?" Tanya Riska memperhatikanku sedang mengutak-atik ponsel.

"Belum nih. Kayaknya lagi ga ada orang di rumah"

"Terus gimana pulangnya?"

"Ya gampang lah naik apaan kek"

"Nah, bareng Tama aja" Suara Riska membuat si punya nama menoleh.

Tanpa menggubris, ia melanjutkan kesibukkannya.

"Ngga lah ngapain, beda jalan juga" Kataku.

"Udah gapapa, coba aja tanya dulu. Dia baik kok orangnya"

"Sama orang lain kali baiknya, beda cerita kalo sama gue"

Sinar matahari makin meredup diujung barat. Hari mulai gelap. Satu per satu siswa mulai meninggalkan sekolah.

"Jadi nebeng ngga?" Tanya Tama mengejutkanku.

"Rumah lu kan ga searah sama rumah gue"

"Jadi ga?"

"Ngerepotin ga?"

"Ngerepotin lah"

"Yauda sih, ga usah"

Tama beranjak dari duduknya seletah memakai sepatu sembari berkata,

"Ayo"

Aku sedikit tidak percaya mengikuti langkahnya dari belakang dengan sedikit gengsi.

Selama perjalanan, untuk pertama kalinya kita membahas banyak hal. Saat itu, berbicara dengannya terasa menyenangkan. Tidak ada pertikaian dan rasa kesal. Hari itu ditutup dengan candaan dan gurauan.

"Lu ada turunan arab ya?" Tanya Tama penasaran.

"Ngga. Arab dari mananya deh?" Jawabku dengan heran.

"Muka lu tuh kek ada arab-arab nya" Dia menjelaskan dengan nada seriusnya.

"Ha? Ngga. Gue jawa, tulen."

"Ohh gitu" Dia mengambil jeda sejenak, mungkin sedang berpikir.

"berarti Ara pati genah" Dia melanjutkan.

"Dih. Sialan"

Kemudian kami tertawa dengan lelucon jawa yang dilontarkannya.

💌

Entah bagaimana, namun sejak saat itu, cinematografi semakin terasa menyenangkan. Pulang bersamanya sudah menjadi jadwal rutinanku. Membahas hal-hal random yang sering terbesit di pikiran kita berdua, mencari jawabannya, kemudian tertawa bersama dengan jawaban yang tidak masuk akal. Malam harinya kita akan melanjutkan percakapan melalui chat, kadang juga telpon, namun sangat jarang. Entahlah seperti banyak hal yang hanya bisa kami lontarkan melalui ketikan. Selain itu, saat mendengar suaranya dari dekat rasanya cukup membuat jantungku berdegup. Meski hanya lewat telepon.

Sampai.. Aku mulai menyadari sesuatu bergejolak dalam hati ku, saat bersamanya. Mungkin dia merasakan hal yang sama. Mungkin juga tidak. Aku mulai tidak bisa membedakan jenis perhatiannya. Aku selalu tersipu. Tapi sejauh ini, "Sahabat" mungkin adalah kata yang tepat untuk mendeskripsikan hubungan kita.

Lucu bukan? Orang yang sebelumnya menjadi musuhmu kini menjadi orang yang sangat dekat denganmu. Well actually, it's real. Andai saat itu aku tidak bersamanya dalam perjalanan pulang, mungkin aku tidak akan mengenalnya lebih dekat.

💌

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 29 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Dari KeelaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang