Sudah selesai ganti bajunya?" Reyana yang baru keluar dari bilik kamar mandi terlonjak kaget dengan keberadaan atasannya di atas wastafel dengan kaki yang saling berjauhan. Kedua tangannya bertumpu pada wastafel pada masing-masing sisi. Reyana berdehem pelan, otak kotornya mulai bekerja tidak pada waktunya. "S-sudah, Pak" cicitnya. Sesekali ia menyedot ingusnya. Tali totebag berisi pakaian kotornya ia genggam erat. Kakinya maju, berjalan mendekati Julian yang tampak err-seksi? dari pose duduknya.
Julian turun, "Ayo, saya antar pulang. Sesekali ayo bolos berkerja" Menggapai jemari Reyana, mengapitnya dan berjalan berdua meninggalkan kamar mandi. "Eh, sebentar-sebentar" Julian menarik satu lembar tisu dari wastafel dan menempelkannya pada hidung merah Reyana. "Ayo buang, saya bantu"
Reyana mengerutkan hidungnya. "Ee.. tidak-tidak. Biar saya sendiri saja" cicit Reyana seraya mengambil alih tisu yang menempel pada hidungnya. Julain menggeleng, "Ayo keluarkan, cepat" perintah Julian mutlak. Reyana melirik sebentar wajah datar Julian. Ini sungguh memalukan, batin reyana. Ia mengeluarkan isi dari hidungnya sebisa mungkin kemudian Julian menekan sedikit hidungnya yang membuang tisu kotor ke tempat samapah. Tisu baru ia ambil dan membersihkan hidung Reyana. "Dah, selesai. Ayo pulang" tangannya kembali digenggam. Mencoba menghilangkan kegugupannya, ia bertanya pada Julian.
"Eh, Pak, Bos bisa juga bolos?"
"Bisalah! 'kan bos yang mengatur segalanya. Jadi terserah saya" sahut Julian dengan enteng
"Aku sampai berpikir, kenapa melihat bubur yang diaduk bisa membuat orang muntah?" Tanya Julian sembari melirik Reyana yang tingginya hanya sampai pada bahu tegap miliknya. Wanita itu sedari tadi terus menatap lantai putih yang ia pijak. Mendengar pertanyaan dari Julian, Reyana mengangkat pandanganya, garis rahang tegas milik Julian adalah yang pertama ia lihat.
"Eung, memangnya Bapak pernah makan bubur ayam sebelumnya?"
"Tidak, atau belum sama sekali. Aku tidak suka teksturnya" jawab Julian dengan menekan tombol lift khusus. Julian memutar badannya menghadap Reyana tanpa melepas tautan tangan keduanya. "So, Bapak makan apa waktu sakit selain bubur?" Netra coklat bening Reyana menatap atasannya penasaran. Pada umumnya, ketika orang sakit bubur adalah menu makanan pertama yang diperbolehkan dikonsumsi. Selain karena teksturnya yang mudah tertelan juga lebih manusiawi dibandingkan dengan makanan lain yang akan terasa hambar ketika orang sakit yang memakan. Reyana baru menemukan ada orang yang tidak makan bubur pada saat sakit.
Pintu lift berdentang, "Saya hanya makan kerupuk" jawab Julian sembari melangkahkan kakinya memasuki lift diikuti Reyana. "Hah? Makan kerupuk? Eeei, mana adaa?" Selorohnya tidak terima. Alasan yang aneh. Reyana menatap curiga Julian yang tersenyum melihat wajah ketidak percayanya. "Beneran, saya nggak bercanda, Yana" Julian tertawa kecil melihat reaksi Reyana yang tersipu saat ia memanggilnya dengan panggilan 'Yana'. Panggilan itu tidak aneh hanya saja, sejarahnya yang memalukan.
"Bapak ngarang ya. Emang sejarahnya apa?" Ujar Reyana mencoba menghapus ingatan panggilan Julian kepadanya.
Julian berdehem pelan. Jemarinya mengetuk-ngetuk dinding lift. Alisnya terangkat sebelah, "Dulu saya pernah sakit parah, waktu itu nggak ada siapapun di rumah. Mama sama Papa pergi ke Jepang sedangkan semua maid saya suruh pulang dan kembali keesokan harinya. Dan tanpa ada firasat apapun dalam dua jam saya merasakan perasaan tidak nyaman pada badanku. Perut saya juga kosong, tak ada makanan di dalam kamar. Dan waktu itu hanya ada satu kantong kresek kerupuk, jadi yaa.. itu saja yang saya makan"
Julian kembali berdehem, pintu lif terbuka. Keduanya berjalan dengan Julian yang ada di depan dan reyana mengikuti di belakang, layaknya bos dan sekertarisnya. Pernah disuatu malam yang kebetulannya Reyna diantar pulang oleh Julian, Lelaki 36 tahun itu mengatakan bahwa ia tidak suka terlalu formal terhadap hal yang tidak berhubungan dengan pekerjaan. Jadi sepeti inilah yang akan mereka lakukan. Bila mereka berdua ada di tengah-tengah para karyawan mereka akan bersikap formal dan jika mereka hanya berdua, Reyana akan berusaha menghilangkan sikap canggungnya dan Julian yang bersikap normal.
Keduanya keluar dari perusahaan dan berjalan menuju parkiran."Terus, terus?" Tanya Reyana penasaran. Netra coklatnya terus melihat ke arah Julian yang berjalan di samping kirinya. Tangan mereka bertaut kembali. Julian terkekeh, Reyana selalu mudah ia pancing untuk terus melakukan percakapan. Julian merasa senang ada seseorang yang dapat membangkitkan moodnya. "Ya, sejak saat itu mulai menjadi kebiasaan saya ketika saya sakit. Semua orang pun perlahan tahu"
Keduanya terus saling melempar obrolan hingga sampai tempat parkir mobil Julian. "Kau mau makan atau langsung pulang, Yana?" Tanya Julian yang membali membuat goresan kemerahan terlukis dipipi reyana. Reyana mengalihkan pandangannya sebentar, "Y-ya, kalau Bapak tidak--"
"Julian!" Seorang wanita dengan dress putih berjalan cepat menghampiri keduanya. "Ah, Selene? Kenapa kau kemari?" Tanya Julian yang melihat selene semakin dekat dengan keberadaannya. Reyana mencoba melepaskan tautan tangan mereka, tapi Julian semakin erat menggandengnya. "Kita dipanggil ke sekolah. Jack kembali membuat masalah" ucap Selene dengan helaan napas kasar di akhir. Tautan tangan Julian dan Reyana, itu juga tak luput dari pandangannya. "Aku tidak tahu, sampai kapan Jack akan terus begini. Melakukan keonaran dan membuat kita lagi-lagi pergi ke sekolah" keluh Selene dengan menyandar dibadan mobil Julian. "Jack masih remaja, tak aneh bila ia sering melakukan kenakalan. Seorang remaja apalagi yang baru memasuki kawasan itu, seperti halnya Jack dan remaja-remaja yang lain. Keingin tahuan mereka terlampau tinggi sampai tak memikirkan apa yang akan terjadi dikemudian hari setelah mereka melakukan hal yang menurut mereka 'keren'. Satu hal patut dipertanyakan kepada mereka. Apa motif mereka melakukan itu semua? Dan apa yang akan mereka capai setelahnya?" Reyana membekap mulutnya. Ia berbicara terlampau panjang dan terlihat sekali bahwa ia telah berbuat kurang ajar terhadap Julian dan Selene yang lebih tua darinya. "Ah, maafkan saya. Saya tidak bermaksud untuk menggurui kalian, saya berkata begini karena memang saya pernah remaja dan pernah melakukan kenalan pada masanya" ucap Reyana cepat-cepat.
Tapi Selene malah tertawa pelan, "Hahaha, itu memang benar Reyana. Tapi kau tahu Jack itu susah sekali untuk dinasehati" wanita itu mendekat selangkah pada Julian dan Reyana. Tangan kanannya melepaskan tautan tangan keduanya dan menuntun Reyana memasuki mobil bagian belakang untuk duduk bersamanya. "Ck, ya!" Julian berdecak pelan. Selene hanya menganggap Julian angin lalu dan menutup pintu mobil.
Reyana tidak mempunyai keberanian untuk memandang wajah cantik Selene. Tadi itu sungguh hal yang sangat memalukan. Bergandengan tangan di depan istri sah? Reyana ingin sekali menenggelamkan wajahnya dan seluruh badannya ke dalam rawa tanpa ada niatan untuk kembali ke atas tanah.
"Jack itu 11 12 dengan ayahnya. Sama-sama nakal, tidak tahu aturan, tidak mau dinasehati, tidak mau diatur. Aduh! Pokoknya banyak baget sifat jelek Julian yang nurun ke Jack" papar Selene dengan penuh semangat.
Sama-sama seperti ayahnya, hehe.
"Nggak bisa gitu. Terus maksud kamu, Richard yang tampan dan manis itu 11 12 sama kamu?" Tukas Julian dengan bumbu kesal di dalam nada bicaranya. Mobil keluar dari parkiran dan melesat pergi membelah padatnya jalanan siang ini. "Iyalah! Richard itu orangnya ramah, manis, sopan lagi. Yang udah jelas sifat aku yang nurun ke Richard" balas Selene tak mau kalah. Ia memandang Julian yang menatapnya datar dari balik kaca spion depan.
Apa aku terjepak di tengah-tengah pertengkaran suami istri?.—Reyana bukan pelakor masa depan.
"Terserah, kamu tadi kesini sama siapa?" Tanya julian pada Selene yang mengutak-atik ponsel mahalnya. "Diantar Papa. Sekalian tadi mampir kerumah dulu. Lalu aku minta diantarkan kemari. Dan setelahnya aku menyesal"
"Kenapa?"
"Karena aku melihat sesuatu tadi. Sangat tidak tahu malu" desis Selene dengan cebikan yang diarahkan ke depan. Reyana mengukuhkan duduknya. Apa yang dimaksud Selene adalah skinsip yang ia lakukan dengan Julian? Reyana semakin tidak berani melihat kearah siapapun kecuali pada kaca disamping kanannya. Sebuah kotak tisu kosong melayang ke arah Selene dan mengenai ponselnya hingga terjatuh. "JULIAN! AH, PONSEL MAHALKU!"
"BODO!" Ketusnya.
"Haish! Awas kau!" ancam Selene. "Reyana? Kau mau pergi ke sekolah si kembar?" Tawar Selene pada Reyana.
"Hah?"
"Iya, sekalian nanti setelah menjemput si kembar dan tentunya menyelesaikan kenakalan Jack. Kita akan makan malam di restoran Thailand kesukaan Richard. Bagaimana?"
"Hah?" Seketika, otak Reyana malfungsi memikirkan tawaran Selene. Berulang kali mengucapkan 'hah' atas jawaban Selene, membuatnya serasa menjadi tukang keong. Entah apa yang akan terjadi kedepannya.
◽◻◽◻◽
KAMU SEDANG MEMBACA
Mas CEO
RomanceReyana benar-benar tidak tahu bagaimana ia harus menyikapi segala kelakuan soft Bos nya. seharusnya Reyana senang karena perasaannya mulai terbalaskan. tapi nyatanya Bos nya itu berbeda-beda degannya. berbeda dalam arti status, Bos nya itu sudah pun...