Prolog

38 4 0
                                    

Aku masih ingat sekali, bagaimana aku bertemu dengannya. Saat itu aku sedang mencoba menulis puisi di belakang sekolah untuk memenuhi tugasku, lalu aku melihat seseorang sedang tertidur di kursi panjang yang terletak di bawah pohon mangga.

"Tumben, di jam segini ada seseorang disini." pikirku, karena sekarang masih jam pelajaran.

Bukan berarti aku bolos, aku disuruh oleh guruku untuk mencari inspirasi di sekitar sekolah. Oleh karena itu aku memilih untuk mencari inspirasi disini.

"Engh," aku mendengar suara keluhan dari lelaki itu.

Ya, aku bisa prediksi dia lelaki karena dia memakai celana hehe.

Aku menghampirinya, aku melihat wajahnya sangat tampan tetapi mengapa wajahnya asing bagiku padahal aku tau semua siswa disini. Apa dia anak baru?

"Engh," dia mengeluh lagi.

Aku memperhatikan alisnya yang bertaut kurang nyaman, lalu aku melihat ke atas. Mungkin dia tidak nyaman karena wajahnya terkena cahaya matahari.

Aku berinisiatif melindungi wajahnya dengan tanganku, setelah itu aku melihat alisnya tidak bertaut lagi bahkan aku bisa melihat bibirnya tersenyum kecil. Wahh.. bisa-bisanya dia tersenyum seperti itu sehingga membuatku terpesona.

Sekitar lima belas menit aku berdiri dihadapannya dan menutupi wajahnya, akhirnya sinar matahari itu tidak ada lagi.

Lalu aku duduk di sampingnya, aku melihat ke samping. Wah dari samping saja tampan, jika seperti ini terus bisa-bisa aku terkena sindrom "tidak bisa jika tidak melihatnya".

Aku langsung menggelengkan kepala, aku harus fokus menulis puisi. Dan akhirnya aku menulis puisi sesekali melihat ke arahnya.

"Selesai!" ucapku sambil tersenyum melihat kertas yang aku genggam.

Lalu saat melihat ke arah samping, mataku membulat karena terkejut melihat lelaki itu sudah terbangun dari tidurnya dan menatapku dengan wajah terkejut juga.

"Ah ha-hai," sapaku canggung.

Lelaki itu menatapku dengan wajah kesal dan alisnya yang menyatu membuatku terdiam. Lelaki itu mengambil jaket jeansnya yang bertengger di sandaran kursi lalu pergi dari sana.

Kepergiannya membuatku bingung setengah mati. Apa aku melakukan kesalahan? Kenapa dia seperti marah padaku?

"Kay, lo dimana?" seseorang berteriak mencari ku.

Aku langsung berdiri lalu menghampiri tiga lelaki yang sedang berada di arah kananku.

"Haekal, kamu jangan teriak-teriak ini sekolah bukan hutan!" ucapku kepada sahabatku yang bernama Haekal itu.

"Gue kira lo hilang Kay, kalau lo hilang nanti kami di marahin bang Mahen." ucap Haekal dengan wajah dibuat-buat sedih.

"Alah, lo aja yang alay Kal." ucap sahabatku yang lain, Arjuna.

"Lo sudah selesai buat puisi?" tanya Jian, sahabatku yang lain.

Ketiga lelaki ini memang sudah menjadi sahabatku semenjak aku masuk sekolah ini karena mereka diperintahkan oleh abang gue tercinta, bang Mahen untuk menjaga gue. Ya karena mereka satu geng dengan bang Mahen.

"Haekal, tujuh belas tahun aku hidup sama bang Mahen, aku gak pernah lihat bang Mahen marah." ucapku kepada Haekal.

Haekal langsung menepuk kepalaku. "Lo aja yang nggak tau kalau bang Mahen marah galaknya kayak mana,"

Aku ingin memprotes ucapan Haekal namun aku langsung ditarik oleh Jian dan Juna.

"Nggak usah dengerin Haekal, dia banyak beban makanya begitu." ucap Jian.

"Betul tuh," tambah Juna.

Kedua lelaki itu merangkul pundak ku lalu membawaku pergi menjauh dari Haekal.

"Woy, tunggu gue!" Haekal langsung berlari mengejar kami.

***

"Kanaa Putri Mahardika," panggil wanita paruh baya yang biasanya aku panggil Bu Jasmin.

"Silahkan membaca puisi yang sudah kamu tulis,"

Dengan percaya diri aku berdiri dari kursiku dan menggenggam kertas yang sudah aku tulis dengan puisiku.

Namun aku terkejut melihat isi puisiku yang tidak sesuai dengan yang aku buat tadi.

"Kayaknya tadi aku buat puisi tentang bunga, kenapa tiba-tiba puisiku tentang seorang lelaki?" gumamku.

Haeckal yang duduk di sebelahku menatapku dengan bingung. "Kenapa Kay?"

"Kanaa ada apa? Kenapa gak dibaca puisinya?" tanya bu Jasmin.

"Emmhh, itu bu puisi sa-" belum saja aku menyelesaikan ucapanku, Haekal sudah mengambil kertasku.

Aku bisa melihat wajah terkejut Haekal saat membaca puisi itu, lalu lelaki itu menatapku dengan tatapan kecewa.

"Dia siapa Kay? Bisa-bisanya lo buat puisi tentang cowok lain," ucap Haekal dengan dramatis.

Aku hanya bisa menatap lelaki disampingku ini dengan tatapan bingung.

Dan seisi kelas hanya menonton drama yang akan dimainkan oleh Haechan, bahkan bu Jasmin sekalipun.

"Kulitnya yang putih, sangat bersinar di bawah matahari." Haekal membaca salah satu baris di puisiku dengan penuh tekanan lalu dia melihatku lagi.

"Kulit putih siapa Kay? Kulit gue buluk begini," tanya Haekal dengan dramatis.

"Kulit gue Kal! Kulit gue!" malah Juna yang membalas pertanyaan Haekal dengan esmosi.

"Lo Jun, jangan ikut campur rumah tangga gue."

Pletakk

Jian memukul kepala Haekal lalu memberi kode kepada Yara dan Shon yang duduk di belakangku agar menyeret Haekal keluar kelas.

"Bu, saya permisi bawa Haekal ke RSJ." ijin Jian dengan sopan.

Bu Jasmin hanya menganggukkan kepala santuy.

Dan akhirnya Haekal dibawa oleh Jian, Yara, Shon dan Juna.

"Baik, karena Kanaa tidak membaca puisinya maka Kanaa akan ibu kasih tugas."

Aku langsung terkejut mendengar kata bu Jasmin. "Yah ibu,"

"Selamat bertugas,"

Aku hanya bisa menghela nafas panjang, lalu aku melihat kertas yang berada di atas meja Haekal.

Mengapa aku bisa membuat puisi seperti itu?

Apa karena aku membuat puisi sambil memandangi nya?

FORELSKETTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang