Garis Awal Waktu
Dua bulan yang lalu terakhir kali aku bersama Karimah dan hingga kini aku tidak mengetahui bagaimana kabarnya namun doa-doa selaluku panjatkan agar dia bak-baik saja, kadang aku gelisah setiap harinya namun teman-teman selalu menyemangatiku, sabarlah jangan gundah hidup memang seperti ini tak semuanya akan bahagia Tuhan punya rencana dan aku harus menjalaninya dengan cara yang terbaik, semua ini pasti ada waktunya, kalau aku sudah tidak kuat ada semesta yang memelukku.
*
Hari-hari demi hari aku jalani dan sekarang nampaknya semua sudah baik-baik saja, pikiranku soal Karimah juga sudah agak berkurang karena sudah tertutup oleh kesibukanku, disamping skripsiku yang masih dalam bimbingan bersama dosen pembimbingku yang susah aku temui juga aku ada kesibukan baru di luar sana, selain kesibukan mengurus Teras Aksara kini aku selalu diajak Robet untuk berdiskusi bersama dan malam ini aku diajaknya ke sekertariat Gerakan Sekolah Rakyat.Aku di jemput oleh Robet di rumah Teras Aksara dengan motor Astrea Star warna biru putih, yang uniknya dari motor itu adalah bentuknya karena sudah di modifikasi dengan ada keranjang yang terbuat dari kayu.
“Ayo kita berangkat sekarang,” kata Robet kepadaku.
“Oke, aku pamit dulu sama teman-temanku,” kataku pada Robet.Setelah aku berpamitan dengan teman-teman serta anak-anak yang sedang bimbingan belajar dengan Elsa dan Yusron kami pun pergi ke sudut utara kabupaten Sleman, di perjalanan kami banyak bercerita, Robet memiliki pemikiran yang luas serta kritis dalam mengkritik soal pemerintahan, aku menyebutnya “orang kiri” nampaknya bisa dibilang dia adalah orang kiri namun wawasan Robet soal agama islam juga luas.
“Aku gini-gini bapakku itu haji lo di desa sana,” kata Robet padaku, sungguh aku tidak percaya dengan apa yang dia katakan soal bapaknya yang sudah pergi berhaji ke tanah suci, pembahasan kami pun berpindah ke ranah yang lain terutama ke soal budaya, Robet kali ini mengajak ku berpendapat soal budaya Jogja.
“Kamu kan orang asli Jogja Ber, gimana pendapat mu soal budaya Jogja?” kata Robet dalam obrolan kami di motor.Aku pun hanya bisa menjawab setahu ku saja karena memang aku juga hanya mengenal budaya normal orang Jogja seperti, ramah, menghormati, sederhana dan lain-lain hingga Robet berkata “Kamu lebih patuh kepada siapa Presiden apa Sultan?” tanya Robet kepadaku, pertanyaan yang membuat ku bingung harus memilih yang mana karena mereka adalah pemimpin kami.
“Bingung ya kamu pasti?” kata Robet.
“Pilih sultan lah,” jawabku dengan yakin.
Robet hanya tertawa “Patuh kepada Sultan ya?” kata dia kepadaku.
“Kalau kamu asalnya dari mana?” tanyaku pada Robet.Aku selama ini belum tau asal Robet yang ku tahu dia hanya kuliah di ISI Jogja saja bahkan aku baru tau juga latar belakang bapak Robet adalah seorang haji tentu ini berbanding terbalik dengan gaya penampilan Robet yang jauh dari agama, “Mamah ku padang dan bapakku Belitong” kata Robet.
Baru tau aku sekarang rupanya dia bukan orang darah jawa tapi Robet sangat senang sekali belajar budaya jawa bahkan dia senang sekali mendalami kultur budaya Jogja.
“Kau pasti kaget ya?” kata Robet.
“Iya enggak nyangka,” jawabku.
“Semua orang juga begitu,” kata Robet.Obrolan kami di perjalanan ini membuat ku tersadar bahwa aku masih harus banyak belajar dan rajin membaca buku agar memiliki pemikiran kritis seperti Robet, sampailah kami di daerah Cangkringan tempat sekertariat Gerakan Sekolah Rakyat.
Dari pusat kota kini aku berada di ujung utara Yogyakarta lebih tepatnya di kabupaten Sleman, bertempat di kecamatan Cangkringan aku dan Robet sampai di sebuah rumah yang berukuran enak kali enam meter, wujud bangunan ini seperti rumah namun mereka menyebutnya ini adalah sekertariat Gerakan Sekolah Rakyat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lentera dalam Kegelapan
Teen FictionLanjutan dari novel sebelumnya "Senja di Atas Kota Kecilku" 📚 Judul : Lentera dalam Kegelapan ✒️ Sinopsis --- Dalam cerita ini melanjutkan perjalan Berlian dalam pengabdiannya di desa Sorjansari, perjalan ini cukup panjang karena Komunitas Teras...