Sisi lain Kayana

4 3 5
                                    

"Mama pulang...." teriak Kayana dari pintu depan. Dua anak kecil yang sedang bermain serempak berlari ke arah suara lalu melonjak kegirangan setelah melihat apa yang ibunya bawa.

"Mama bawa melon. Yeay," seru salah satunya.

"Minta bantuan bibi untuk belah melonnya. Mama mau mandi dulu."

Keduanya berlari sambil membawa melon ukuran kecil yang Kayana bawa tadi. Kedua anak Kayana sangat gandrung sekali dengan melon terutama melon super yang rasanya manis. Dulu, Kayana juga suka dengan melon tapi kini tidak lagi. Semenjak perceraiannya dengan mantan suami, dirinya membenci buah bulat warna hijau itu. Tetapi anehnya kedua anaknya sangat menyukainya. Mau tak mau Kayana harus membelikannya agar keduanya tak merengek terus.

"Kak...."

Kayana menoleh. Tepat di belokan menuju tangga adiknya memanggil dengan suara sedikit parau. Adiknya terlihat lelah karena baru saja bangun tidur. Jangan salahkan ia, karena sudah hampir dua hari dirinya tak bisa tidur karena harus menggantikan temannya yang sedang cuti.

"Ya, kenapa Dit?" Kayana berhenti sejenak. Kedua tangannya terlipat di dada sambil menatap tajam pada adiknya.

"Sepertinya aku tidak bisa melanjutkan pertunangan dengan Devan," ucapnya pelan. Kayana memicingkan matanya. Heran dengan sikap adiknya yang mendadak ingin lepas dari pria yang sudah dipacarinya sejak lima tahun silam.

"Kenapa? Kamu mencintainya kan?"

"Dia menghamili wanita lain. Aku harus apa kak?" Dita mengusap matanya yang sembab karena airmata yang tiba-tiba jatuh. Tak lama, ia pun terisak dan suaranya terdengar memilukan.

Kayana menarik tubuh Dita lalu memeluknya erat. Dita yang merasa aman segera menenggelamkan kepalanya di dada sang kakak dan kembali terisak lebih dalam. Kayana hanya bisa memeluk dan mengusap pelan rambut sang adik. Ada rasa bersalah terbersit di hatinya tak bisa membantu permasalahan adik satu-satunya.

"Menangislah lebih kencang. Karena airmata adalah peluruh beban hidup yang paling ampuh. Kakak hanya bisa mendukungmu. Kalau itu yang terbaik, akan kakak terima dan yang terpenting kamu bahagia," pesan Kayana yang diangguki Dita.

"Dita enggak mau nikah seumur hidup kak. Dita mau tinggal sama kakak," racaunya dalam isak tangis.

"Dita, jangan bicara seperti itu."

"Dita lebih sayang kakak dan keponakan."

Kayana tak bisa memaksa sang adik untuk mengikuti keinginannya. Semenjak ia menyuruh Dita untuk berpacaran dengan seorang pria yang ia sukai semenjak itu pula adiknya berubah. Apalagi saat ia melihat sendiri bagaimana nasib kakaknya setelah menikah. Ia semakin berubah. Adiknya membenci pernikahan. Katanya, pernikahan itu konyol dan tak bermanfaat.

"Ya sudah. Kakak mau mandi dulu, lalu kita makan sama-sama." Kayana melepaskan pelukan, menepuk pelan bahu Dita lalu masuk ke dalam kamarnya.

Dita yang masih berdiri di depan pintu berteriak, " Aku sudah masak makanan kesukaan kakak."

"Ya. Nanti kakak makan," balas Kayana dari dalam kamar.

Sebelum mandi, Kayana duduk di depan cermin sebagai ritualnya setiap kali ia akan membersihkan tubuhnya. Ia akan membuka lembaran buku diary milik seseorang dari masa lalunya yang menghilang entah kemana. Katanya, ia akan selalu menemani Kayana walau hanya dengan melihat tulisan tangannya.

Kayana tersenyum. Kalimat yang ia suka adalah saat sosok itu merayu dirinya dengan kata-kata puitis yang membuat dadanya bergemuruh bak awan hitam.

'Sudah tahukah langit biru di ujung sana, jika bidadari yang ia punya turun ke bumi menghiasi cakrawala senja?'

Kayana diibaratkan bidadari oleh pujangga tersebut. Padahal, Kayana tidak yakin dirinya adalah seorang bidadari. Bukankah bidadari adalah sosok yang sempurna?

Setelah terhanyut dalam buaian cerita sang pujangga, Kayana segera masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya yang penuh peluh. Lalu, ia segera melangkah ke menuju ruang makan untuk berkumpul bersama adik dan anak-anaknya.

"Kak, ini lauk kesukaan kakak." Dita menyisakan satu porsi ayam goreng beserta sambal dan lalapan untuk Kayana. Ah, betapa bahagianya sang kakak melihat adiknya begitu bersemangat melayani sepenuh hati kebutuhan dirinya.

"Kakak perlu tambahan pembantu enggak?" tanya Kayana yang disambut gelengan kepala dari adiknya. Kayana mengangguk paham. Adiknya paling anti menerima orang baru di rumahnya.

"Eric dan Erin sudah besar, mereka sudah bisa ditinggal sendiri saat siang hari. Toh aku pulang tidak sampai sore sudah sampai di rumah. Lebih baik uangnya untuk jalan-jalan saja kak," usul Dita. Kedua anak Kayana seketika menoleh. Usulan Dita ternyata mampu mengalihkan eksistensi mereka dari makanan kesukaan.

"Ok, kita kemana liburan bulan depan?"

Kedua kakak beradik itu hanya saling bertatapan lalu menggedikkan bahu mereka dan gelengan kepala menjadi jawaban akhirnya.

"Ke Bandung? Kita belum pernah tengok uwa semenjak sibuk dengan pekerjaan kita."

"Benar juga. Kita liburan ke rumah uwa, bagaimana anak-anak?"

Eric dan Erin mengangguk.Tak disangka usulan Dita disetujui oleh kedua keponakan mereka. Kayana tersenyum melihat kebahagiaan yang terpancar dari sorot mata mereka yang berbinar. Ini kali pertama mereka tertawa dan tersenyum setelah sekian lama ayah mereka menahannya. Sorotan emosi tak pernah ditunjukkan keduanya, dulu sewaktu bersama mantan suami sekaligus ayah kandung keduanya.

Sam begitu kaku. Ia jarang sekali menyapa anaknya saat berada di rumah. Selain itu, ia juga sangat perhitungan. Semua perabot rumah miliknya harus dipisah dan tidak boleh digunakan oleh siapapun. Kayana selalu sabar menghadapi tingkah suaminya. Namun puncak kesabaran rupanya hanya sampai di delapan tahun pernikahannya. Karena Sam lebih memilih pergi bersama kekasihnya dibandingkan dirinya dan juga anak-anak.

"Kakak melamun?" suara Dita mengagetkan Kayana yang sedang duduk memandangi bintang di pekarangan rumah. Anak-anak sudah tidur katanya. Ini saat yang tepat untuk merenungi kisah hidupnya.

"Kakak sedang memikirkan hari-hari indah saat pernikahan. Sam tampak gagah dengan pakaian jasnya dan kakak pun sama, dengan gaun tercantik yang pernah dipakai. Kalau kamu?" tanya Kayana balik.

"Aku enggak lagi melamun, kak. Hanya berpikir betapa beruntungnya aku bersaudara dengan kakak." Keduanya saling menoleh. Kayana mengusak rambut Dita dan menciumnya menyalurkan rasa sayang untuk adik tercinta.

"Kakak pun sama."

Dua kakak beradik ini memang terlihat akrab sejak dulu. Kayana yang perhatian dan juga Dita yang sering memberi kejutan untuk sang kakak membuat mereka Semakin tak terpisahkan. Bahkan hingga Kayana menikah pun, Dita tetap akrab dengan kakaknya.

Kayana berdiri. Rasanya malam telah beranjak naik. Warnanya semakin kelam menghitam pertanda sang pencipta telah menurunkan layar mengajak maha karyanya untuk beristirahat malam ini.

"Kakak mau tidur? Sudah mengantuk?" Kayana mengangguk. Mulutnya terbuka lebar, menguap dan pedih sudah terasa di matanya.

"Iya. Kamu tidurlah. Besok kamu berangkat pagi, bukan?" Dita mengangguk.

"Iya kak."

Keduanya pun melangkah bersamaan dan masuk ke dalam kamar masing-masing. Ingin mengadu mimpi agar Tuhan memberikan keberkahan hidup.




Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 09, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Dream of me, Mr.CEOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang